Mupung menjelang lebaran nih, sepertinya harus banget nge-posting beginian. Karena, demi apa ya, pertanyaan itu cukup krusial dan sensitif terutama untuk wanita yang mulai menginjak umur 25 tahun ke atas. Budaya kita memang ya (termasuk aku) untuk suka kepo-kepo sampai hal-hal pribadi yang sebenarnya ga ngefek juga sama hidup kita dan kita pun tak bisa bantu. Tapi ya gimana ya.... kadang rasa penasaran memang tak terbendung.
Jadi dulu waktu itu aku masih 25 tahun. Oke, pada tahun itu lebih dari selusin temanku menikah (seriusan ga lebay). Tapi aku masih cukup santai sih karena pada waktu itu bisa dikatakan aku sedang fokus menjajaki mimpi lama yang baru saja tercapai. Nah, di negeri sakura pada waktu itu aku bertemu dengan seorang akhwat yang maashaaAllah menurutku perfect!!! Cantik, hafidzoh, pinter masak, pinter akademisnya (S3 beasiswa MEXT loh), tidak sombong, kalem, ramah, guru ngaji, senang menolong orang, gemar sedekah terutama sedekah makanan untuk "kaum pa pa" (baca: sesama mahasiswa single yang kismin. wkwkwk), baik dengan tetangga (jarang-jarang loh di apartemen kenal tetangga sebelah). Sempurna kan? Iya.. tau tau, tak ada manusia sempurna, tapi kan secara kasat mata kalau kita melihat, kurang apa lagi si embak untuk dijadikan pendamping bagi seorang lelaki. Makanya, saat aku menginap di apartemen beliau, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Akhirnya kuberanikan bertanya,
"Mbak, sebelumnya maaaf banget. Maaf banget. Aku mau tanya, tapi kalau sekiranya mbak keberatan menjawab gapapa lho," introku.
"Mbak, maaf nih, kok mbak belum menikah?" langsung to the point (memang eike agak susah berbasa basi anaknya -_-).
"Sekali lagi kalau keberatan ga usah dijawab gapapa lho." (Tapi ga enakan -_-').
"Hmmmm....." mbak itu berpikir sejenak memilah kata. "Aku mengikuti jawaban istikharah, Shof," jawabnya akhirnya. Kemudian beliau menceritakan bahwa beberapa kali sudah pernah berproses dan bahkan menceritakan kepadaku satu per satu kegagalan dari setiap calon. Tentu aku tak ingat betul alasannya satu per satu, tapi aku jadi paham dan sangat sangat memaklumi kenapa si mbak masih single juga. Dalam hati kumendoa semoga mbak cantik nan sholehah ini segera menemukan pendamping yang sepadan. Alhamdulillah, setahun kemudian kudengar kabar beliau akhirnya akan menikah dengan seorang ikhwan yang inshaAllah secara kasat mata pun terlihat benar-benar sepadan dengannya. Aku pun tersenyum bahagia melihat undangan itu (aku ga dapat undangan, tapi tetanggaku yang dapat ;) ). Dan yang paling aku salut dengan si embak ini, sampai sekarang, hampir 4 tahun (setahuku) tak ada satu pun foto nikah yang diupload di socmed. Aku harus japri dulu untuk lihat foto nikah mereka. Mungkin si embak ingin menjaga perasaan para teman seperjuangan yang belum menemukan pendampingnya karena beliau pasti paham betul bagaimana rasanya :).
Di waktu yang hampir bersamaan, ada lagi akhwat yang secara kasat mata statusnya seperti si embak tadi. Tapi aku berhasil kontrol diri untuk tidak bertanya. Tapi alhamdulillah di waktu yang hampir bersamaan dengan mbak tadi, mbak ini juga akhirnya meniqa :).
4 tahun kemudian, aku bertemu dengan akhwat lain dulu teman seperjuang di salah organisasi dakwah kampus. Kali ini aku sudah lebih berumur (uhuk) dan ga sesantai dulu (oke, harus kuakui, ehem, lebih sensi). Duduklah makan malam kita berdua. Saat mulai makan mulailah aku baper dan curcol hingga akhirnya suasana mendukung untuk bertanya,
"Mbak kok belum menikah?"
Beliau pun dengan tenang menceritakan kisah lika-liku hidupnya. Sebelumnya, beliau selalu menutup rapat-rapat alasan yang membuat beliau menolak menikah selama itu bahkan dari sahabat dekatnya. Tapi alasan yang memberatkan itu sudah tidak ada, makanya beliau bisa cerita padaku dengan santai. Dalam hati kuberdoa, semoga mbak ini segera menemukan pendamping hidupnya. Nampak dari luar beliau sangat menikmati hidupnya yang single saat ini, tapi isi hati siapa yang tahu.
Ada lagi mbakku satu lagi yang hingga kini kumasih berdoa semoga segera menikah. Aku sudah berjanji padanya, inshaAllah, biidznillah kalau ada rejeki (baik waktu maupun materi) aku mau datang kalau beliau menikah. Lama ku tak bersua dengannya. Rindu sebenarnya, tapi mungkin lain waktu ada saatnya kita berjumpa lagi.
Kemudian ada satu lagi karibku teman sebaya. Aku tahu betul kegagalan demi kegagalan yang dia alami untuk urusan jodoh ini. Tapi tekanan sosial seolah tak mau tahu sehingga pertanyaan-pertanyaan atau ucapan-ucapan tak bertanggung jawab itu membuat dia menarik diri dari salah satu peradaban sosial.
Apa contoh pertanyaan dan ucapan yang bertanggung jawab itu? Ya seperti ini:
"Kapan nikah? Nunggu apa sih? Kurang apalagi sih?"
"Ga usah terlalu pilih-pilih, perempuan lebih banyak daripada laki-laki."
"Buruan lho nanti kalau terlalu tua susah hamil."
Hellooooooo.... kuingin berkata kasar pada orang itu meskipun saudaraku sendiri. Serius! Pertanyaan dan perkataan tersebut di atas bukannya 100% haram, tapi please banget lihat-lihat situasi dan kondisi waktu bertanya, juga status kedekatan Anda dengan yang ditanya. Please ga usah sotoy juga ngramal-ngramal nanti susah hamil. Situ Tuhan? hah!
Duh maaf, jadi emosyi diri ini. Wis, intinya gini, orang-orang yang belum menikah itu (termasuk si penulis) pasti punya alasannya masing-masing. Alasan satu orang bisa jadi menurut orang lain itu sepele, tapi bisa jadi justru itu hal serius bagi si empunya masalah. Jadi, please DIDOAKAN saja. Kalau ada waktu yang pas dan sekiranya bisa bantu, bisa lah tanya pelan-pelan. Kalau ga mau bantuin, ngapain juga nanya. Hemat lah abab Anda.
Dah, intinya adalah, mari kita jaga lebaran kita dengan saling menjaga hati. Yang punya bayi, mau pamer silakan, yang single ga usah ngiri. Yang single mau pamer jalan-jalan hura-hura, silakaaan, yang emak-emak yang terus digondheli anaknya juga ga usah ngiri. Rejeki orang masing-masing. Timeline orang untuk mencapai suatu capaian pun masing-masing. Salah satu tanggung jawab kita antar sesama diantaranya adalah menjaga apa kita ucapkan. Aku pun masih harus banyak belajar untuk ini, semoga tulisan ini pun jadi pengingat untuk terus berbenah diri.
Semoga bermanfaat ^^
(bersambung ke Part 2)
Jadi dulu waktu itu aku masih 25 tahun. Oke, pada tahun itu lebih dari selusin temanku menikah (seriusan ga lebay). Tapi aku masih cukup santai sih karena pada waktu itu bisa dikatakan aku sedang fokus menjajaki mimpi lama yang baru saja tercapai. Nah, di negeri sakura pada waktu itu aku bertemu dengan seorang akhwat yang maashaaAllah menurutku perfect!!! Cantik, hafidzoh, pinter masak, pinter akademisnya (S3 beasiswa MEXT loh), tidak sombong, kalem, ramah, guru ngaji, senang menolong orang, gemar sedekah terutama sedekah makanan untuk "kaum pa pa" (baca: sesama mahasiswa single yang kismin. wkwkwk), baik dengan tetangga (jarang-jarang loh di apartemen kenal tetangga sebelah). Sempurna kan? Iya.. tau tau, tak ada manusia sempurna, tapi kan secara kasat mata kalau kita melihat, kurang apa lagi si embak untuk dijadikan pendamping bagi seorang lelaki. Makanya, saat aku menginap di apartemen beliau, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Akhirnya kuberanikan bertanya,
"Mbak, sebelumnya maaaf banget. Maaf banget. Aku mau tanya, tapi kalau sekiranya mbak keberatan menjawab gapapa lho," introku.
"Mbak, maaf nih, kok mbak belum menikah?" langsung to the point (memang eike agak susah berbasa basi anaknya -_-).
"Sekali lagi kalau keberatan ga usah dijawab gapapa lho." (Tapi ga enakan -_-').
"Hmmmm....." mbak itu berpikir sejenak memilah kata. "Aku mengikuti jawaban istikharah, Shof," jawabnya akhirnya. Kemudian beliau menceritakan bahwa beberapa kali sudah pernah berproses dan bahkan menceritakan kepadaku satu per satu kegagalan dari setiap calon. Tentu aku tak ingat betul alasannya satu per satu, tapi aku jadi paham dan sangat sangat memaklumi kenapa si mbak masih single juga. Dalam hati kumendoa semoga mbak cantik nan sholehah ini segera menemukan pendamping yang sepadan. Alhamdulillah, setahun kemudian kudengar kabar beliau akhirnya akan menikah dengan seorang ikhwan yang inshaAllah secara kasat mata pun terlihat benar-benar sepadan dengannya. Aku pun tersenyum bahagia melihat undangan itu (aku ga dapat undangan, tapi tetanggaku yang dapat ;) ). Dan yang paling aku salut dengan si embak ini, sampai sekarang, hampir 4 tahun (setahuku) tak ada satu pun foto nikah yang diupload di socmed. Aku harus japri dulu untuk lihat foto nikah mereka. Mungkin si embak ingin menjaga perasaan para teman seperjuangan yang belum menemukan pendampingnya karena beliau pasti paham betul bagaimana rasanya :).
Di waktu yang hampir bersamaan, ada lagi akhwat yang secara kasat mata statusnya seperti si embak tadi. Tapi aku berhasil kontrol diri untuk tidak bertanya. Tapi alhamdulillah di waktu yang hampir bersamaan dengan mbak tadi, mbak ini juga akhirnya meniqa :).
4 tahun kemudian, aku bertemu dengan akhwat lain dulu teman seperjuang di salah organisasi dakwah kampus. Kali ini aku sudah lebih berumur (uhuk) dan ga sesantai dulu (oke, harus kuakui, ehem, lebih sensi). Duduklah makan malam kita berdua. Saat mulai makan mulailah aku baper dan curcol hingga akhirnya suasana mendukung untuk bertanya,
"Mbak kok belum menikah?"
Beliau pun dengan tenang menceritakan kisah lika-liku hidupnya. Sebelumnya, beliau selalu menutup rapat-rapat alasan yang membuat beliau menolak menikah selama itu bahkan dari sahabat dekatnya. Tapi alasan yang memberatkan itu sudah tidak ada, makanya beliau bisa cerita padaku dengan santai. Dalam hati kuberdoa, semoga mbak ini segera menemukan pendamping hidupnya. Nampak dari luar beliau sangat menikmati hidupnya yang single saat ini, tapi isi hati siapa yang tahu.
Ada lagi mbakku satu lagi yang hingga kini kumasih berdoa semoga segera menikah. Aku sudah berjanji padanya, inshaAllah, biidznillah kalau ada rejeki (baik waktu maupun materi) aku mau datang kalau beliau menikah. Lama ku tak bersua dengannya. Rindu sebenarnya, tapi mungkin lain waktu ada saatnya kita berjumpa lagi.
Kemudian ada satu lagi karibku teman sebaya. Aku tahu betul kegagalan demi kegagalan yang dia alami untuk urusan jodoh ini. Tapi tekanan sosial seolah tak mau tahu sehingga pertanyaan-pertanyaan atau ucapan-ucapan tak bertanggung jawab itu membuat dia menarik diri dari salah satu peradaban sosial.
Apa contoh pertanyaan dan ucapan yang bertanggung jawab itu? Ya seperti ini:
"Kapan nikah? Nunggu apa sih? Kurang apalagi sih?"
"Ga usah terlalu pilih-pilih, perempuan lebih banyak daripada laki-laki."
"Buruan lho nanti kalau terlalu tua susah hamil."
Hellooooooo.... kuingin berkata kasar pada orang itu meskipun saudaraku sendiri. Serius! Pertanyaan dan perkataan tersebut di atas bukannya 100% haram, tapi please banget lihat-lihat situasi dan kondisi waktu bertanya, juga status kedekatan Anda dengan yang ditanya. Please ga usah sotoy juga ngramal-ngramal nanti susah hamil. Situ Tuhan? hah!
Duh maaf, jadi emosyi diri ini. Wis, intinya gini, orang-orang yang belum menikah itu (termasuk si penulis) pasti punya alasannya masing-masing. Alasan satu orang bisa jadi menurut orang lain itu sepele, tapi bisa jadi justru itu hal serius bagi si empunya masalah. Jadi, please DIDOAKAN saja. Kalau ada waktu yang pas dan sekiranya bisa bantu, bisa lah tanya pelan-pelan. Kalau ga mau bantuin, ngapain juga nanya. Hemat lah abab Anda.
Dah, intinya adalah, mari kita jaga lebaran kita dengan saling menjaga hati. Yang punya bayi, mau pamer silakan, yang single ga usah ngiri. Yang single mau pamer jalan-jalan hura-hura, silakaaan, yang emak-emak yang terus digondheli anaknya juga ga usah ngiri. Rejeki orang masing-masing. Timeline orang untuk mencapai suatu capaian pun masing-masing. Salah satu tanggung jawab kita antar sesama diantaranya adalah menjaga apa kita ucapkan. Aku pun masih harus banyak belajar untuk ini, semoga tulisan ini pun jadi pengingat untuk terus berbenah diri.
Semoga bermanfaat ^^
(bersambung ke Part 2)
No comments:
Post a Comment