Monday, April 13, 2020

Kenapa Belum Menikah? (Part 2)

Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan Kenapa Belum Menikah? (Part 1) hampir setahun lalu, di masa galau beratttt, masa-masa bangkit dari keterpurukan (halah lebay). Sungguh, menyakitkan, karena sebenarnya dari lubuk yang terdalam, aku pun menginginkannya sejak lama. Menikah. Semakin hari saking lamanya menunggu (menurutku lama sih), diri ini semakin sensitif dengan kata "menikah". Sehingga pertanyaan-pertanyaan semacam "kapan menikah" dan kawan-kawannya rasanya menjadi seperti bentuk "penghinaan" dan palu godam yang memukul remuk hati ini (lebay meneh...... -_-). Berlebihan? Mungkin. Tapi ya... gimana ya... emang gitu sih rasanya. Intinya, setiap orang ada alasan mereka masing-masing. Jadi mari kita khusnuzhon saja dan tidak banyak bertanya kecuali memang niat ingin membantu. Kalau sekedar kepo, mending di-rem saja dulu lah.

Melanjutkan dari tulisan sebelumnya, aku cuma mau berbagi tentang hasil perenungan panjangku terutama tentang masalah jodoh dan hidup (hmmm topik yang berat). Aku sendiri sudah ingin menikah sejak SMA. Bukan, bukan ingin nikah saat SMA, tapi niatan itu sudah ada sejak SMA sehingga berani pasang target nanti menikah umur 21. Jadilah begitu menginjak umur 21, aku langsung memasukkan curriculum vitae (CV) ke guru ngaji untuk dicarikan jodoh. Namun, percayalah, sejak saat pertama kali memasukkan CV tahun 2011 hingga sudah diupdate berkali-kali tahun demi tahun, dari satu guru ke guru berikutnya, tidak pernah satu pun yang mau "proses". What's wrong with me!!!!! Apa profilku sebegitu jeleknya hingga tak satupun bahkan mau mencoba mengenalku lebih dalam? Ngenes kan? 

Namun aku tak sedih. Life must go on no matter what. Hingga pada akhirnya ada kejadian yang menjadi titik balik caraku melihat, berpikir, dan menyikapi hidup. Dari kejadian itu, pertanyaan demi pertanyaan fiosofis kembali memenuhi pikiran. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Berusaha benar-benar jujur dengan diri sendiri. Se-egois dan sebodoh apapun keinginan itu, coba jujur pada diri sendiri.



Pernah belajar tentang ma'rifatulllah, ma'rifatul insan, ma'rifatunnaas? Tentang "Mengenal Allah", "Mengenal diri", dan "Mengenal hakikat manusia". Pertama kumendapat materi itu adalah ketika ngaji di SMA. Ditambah sejak kuliah juga aktif di organisasi dakwah sehingga kumerasa sudah sangat memahami tiga materi itu. Namun, beberapa tahun terakhir aku mencurigai diri, ternyata aku tidak sepaham yang diduga. Secara teori, ya, aku paham apa maksud dari ketiga materi itu. Tapi bagaimana dengan penerapan di kehidupan nyata? Akhirnya kubiarkan diri ini rehat sejenak dari memikirkan hal yang di luar jangkauanku. Untuk menikah, kita butuh orang lain. Orang lain itu lah yang di luar kontrol kita. Tidak seperti untuk mencapai tujuan hidup yang lain yang bisa kita kontrol sendiri. Jadi, berbekal dari tiga materi dasar tadi, coba kutapaki kembali hidup, membuat standar diri dan pasangan yang akan dipilih.

Cukup lama juga aku memahaminya. Aku butuh lebih dari dua tahun untuk benar-benar memahaminya, setidaknya yang relevan dengan urusan jodoh. Beberapa orang, melalui caranya masing-masing dan timeline masing-masing menemukan jodohnya. Tentu saja sejak awal aku setuju dengan pendapat bahwa pacaran bukan jaminan menemukan jodoh. Tapi setelah kejadian yang kualami sendiri, aku semakin yakin mengapa pacaran memang bukan jalannya. "kejadian" yang dimaksud di sini bukan berati saya pernah pacaran ya, tapi hanya kasih tak berbalas yang berujung pada patah hati akut. Lho kok bisa aktivis dakwah patah hati seperti drama picisan kaleng-kaleng? Itu lah, aku pun tak pernah membayangkan sebelumnya bakal mengalaminya. Ternyata diri ini tidak sedewasa dan sebijak yang dikira. Ternyata penilaian tentang diri sendiri terlalu tinggi dari yang sebenarnya ada di dalam diri.

Long story short, dari kejadian itulah menghasilkan perenungan panjang tentang diri sendiri. Mengapa ingin menikah? Mengapa butuh menikah? Kalau dengar kajian-kajian, gampang lah jawabannya, menikah karena Allah. Tapi apa itu maksudnya? Jujur jujuran wae ya, sebenarnya kriteria apa yang dicari? Jangan bohongi diri sendiri, tanya diri ini, apa yang kita cari. Kemudian, kalau sudah tahu apa yang dicari/disuka, coba memposisikan diri di orang yang kita suka/cari. Kalau kita jadi mereka, kira-kira apa yang akan dia suka dari kita? Sebutlah kelemahan-kelamahan diri, kelakuan-kelakuan negatif yang orang tak banyak tahu. Apakah minus poin kita tersebut bisa ditoleransi? Kalau kita jadi orang lain, apakah sanggup orang lain itu hidup dengan kita?  Orang seperti apakah yang bisa menerima kekurangan itu? 

Atau jangan-jangan kita sendiri bahkan tak tahu apa kekurangan kita? Merasa diri sudah cukup oke? Coba kenali diri lebih dalam. Slowly, kenali lagi diri ini. Press the reset button. Mulai dari nol, kalau kata mas-mbak pertamina. 

Itu adalah beberapa pertanyaan untuk introspeksi diriku. Beberapa orang tidak butuh waktu lama untuk paham dan akhirnya bertemu jodohnya, beberapa orang sepertiku mungkin butuh waktu lebih. Tentu saja ada beberapa orang yang kendalanya adalah pihak eksternal, misal restu orang tua, ekonomi, jarak dan lain-lain. Tapi kesimpulannya tetap sama. Tidak ada patokan waktu yang tepat. Tidak ada yang terlambat atau terlalu cepat. Semua ada waktunya sendiri. It's not at RACE! Married is NOT a competition!! Ini tentang hidupmu. Pilihanmu. Resiko apapun yang akan ada, kamu sendiri yang akan hadapi.
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...."(QS. Fatir [35]:18)

Setelah kejadian patah hati tak terperi itu menghantam dan meluluhlantakkan hati dan kesehatan mental, akhirnya sedikit demi sedikit kumulai menata orientasi hidup dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu untuk diriku sendiri. Selama masa pencarian jawaban itu, aku berusaha untuk kembali fokus kepada aktualisasi diri dan perbaikan diri, baik fisik maupun mental. Perbaikan fisik dengan cara mulai belajar tentang skincare, belajar fashion sederhana seperti mix match baju agar penampilan tampak lebih fresh dan rajin olahraga. Perbaikan mental dengan perbanyak ibadah, sholat (sampai tidak ada sholat sunnah yang belum terlaksana), puasa (sampai tidak ada lagi puasa yang lebih "gila"), tilawah (sebanyak yang bisa dilakukan rutin tiap hari), dengar kajian-kajian (sampai hapal isi kajiannya), dan banyak baca buku (sebulan satu buku misalnya). 

Awalnya ga bikin target tapi akhirnya bikin lah target tipis-tipis yang ga malah bikin stress kalau tidak tercapai. Kegiatan-kegiatan itu alhamdulillah cukup lah untuk lepas dari patah hati dan menumbuhkan rasa percaya diri. Plus yang paling penting, makin tahu tentang diri sendiri baik fisik maupun psikis. Jadi lebih tahu apa yang dimau tubuh (jenis skincare, nutrisi tubuh, kapan badan fit kapan butuh istirahat, dll) dan yang paling penting apa yang dimau si hati. Seiring dengan kesibukan aktualisasi dan introspeksi diri tadi, apakah diri ini masih juga galau? MASIH!! Itu artinya aku masih punya energi berlebih. Maka akhirnya kuberani putuskan untuk sekolah lagi. 

Siapa yang sempat termakan omongan "Jangan terlalu sukses, nanti laki-laki pada takut dan ga ada yang mau nikah sama kita"? Kalau iya, introspeksi diri lah, mungkin kamu perlu perluas jaringan sosial. Masih banyak belahan bumi yang belum kita jelajahi. Di atas langit masih ada langit! Please kalau ada yang ngomong begitu, abaikan saja dan jangan sampai itu menghambatmu untuk terus berkembang. Ingat jodohmu seharusnya membuatmu menjadi lebih baik. Jadi sebaik apapun kamu, masih ada yang lebih baik. Sepinter apapun kamu, masih ada yang lebih pinter. Sesholeh/sholehah apa kamu, masih ada yang lebih alim. Sekaya apa pun kamu, masih ada yang lebih kaya. Secantik/seganteng apapun kamu, masih ada yang lebih cantik/ganteng. Kalau pun kamu merasa kurang cantik/ganteng sedangkan kamu sudah merasa bersih dan oke, coba pindah lingkungan. Mungkin kamu hanya tidak memenuhi "standar cantik/ganteng" di suatu lingkungan. 

Aku jadi ingat obrolanku dengan seorang kawan dari Thailand. Tan namanya. Suatu hari Tan bilang, "Shofi, kita semua itu cantik. Asalkan di lingkungan yang tepat. Mungkin aku Memang awalnya itu hanya candaan kami, para jomblo yang hampir kadaluarsa, untuk menghibur diri. Tapi setelah dipikir-pikir mungkin ada benarnya. Beberapa tahun kemudian aku ada teman baru dari Belanda. Cantik. Tinggi, putih, hidung mancung, rambut lurus, mata belok indah, ramping, sehat, dan (tak seperti umumnya orang eropa kebanyakan) kulitnya bersih mulus. Tapi waktu ketemu aku, dia ga habis-habisnya bilang aku cantik dan confidence meskipun aku pendek. Awalnya kupikir dia hanya basa-basi. Ternyata beneran dia bilang begitu karena dia tidak percaya diri dengan dirinya. Kagetlah aku. Berkali-kali coba kuyakinkan dia kalau fisik dia itu most wanted bagi orang asia. Setelah beberapa bulan di Jepang dan melihat beberapa random people mengagumi kecantikan fisiknya, barulah ia benar-benar percaya bahwa dia cantik. Begitu pun aku, akhirnya pun sadar kalau aku tidak jelek juga. hahaha....

Oh malah jadi ngalor ngidul. Intinya, tinggal kitanya gimana, maunya yang gimana. Tentukan standarmu. Sehingga ketika kamu bertemu seseorang, kita sudah tahu jelas kriteria apa yang perlu dicek dulu. Tak ada manusia yang sempurna, maka kita harus punya poin-poin apa yang bisa/tidak bisa ditoleransi. Untuk tahu kriteria ini yang bagi beberapa orang tidak mudah.

Classic ya? Sering dengar saran-saran itu kan? SAMA. Orang jawa bilang wis nganti ngelothok. Sudah sampai di luar kepala. Kupikir aku pun sudah sangat tahu kriteria yang kumau. Tapi ternyata yang kupikir adalah standar yang kuinginkan, hanyalah angan-angan fiktif yang tidak benar-benar kubutuhkan. Tapi memang kadang kalau benar-benar menuruti apa yang kita mau dan compatible dengan kita memang tidaklah mudah. Setahun yang lalu aku, ketika aku sudah yakin dengan standar baruku, aku sedikit pesimis akan menemukan yang pas. Tapi aku pun tak mau menurunkan standar. Sebaliknya, aku berusaha terus memperbaiki diri untuk memenuhi standarku sendiri. Fokus saja dengan yang lebih pasti. Dan saat itu urusan sekolah lebih pasti untukku daripada urusan jodoh. Aku bahkan sudah siap hidup single sampai mati kalau memang tidak menemukan yang pas (tentu saja ini tidak perlu disampaikan ke orang tua. Bisa sedih mereka). Aku dan 2 kawanku yang meskipun beda kewarganegaraan tapi sama-sama desperate urusan jodoh, sampai sudah merencakan masa tua. Kalau sampai umur 40 tahun kita masih belum menemukan jodoh, kami bertekad untuk beli rumah dan tinggal bareng-bareng. Nanti kita akan jadi nenek-nenek mandiri dan berdikari nan gaul dengan rambut ungu (terinspirasi oleh nenek-nenek Jepang yang rambutnya ungu. Keren sekaliii >_<)

Begitulah, pada akhirnya kami bisa menemukan kebahagian sendiri. Tapi, tetap saja, hati masih kadang terasa kosong. Sebagai muslim, istikharah dan doa khusus jodoh tidak pernah absen di setiap sholat. Puasa dan sedekah juga dikejar terus. Prinsipnya, asal Allah senang. Niatnya ga ikhlas dong? Wis tho, urusan niat bisa sambil jalan dan terus diperbaiki. Yang penting terus berusaha berbuat baik. Meskipun kadang mulut keseleo menyakiti orang lain, selalu coba susul dengan istighfar dan salawat. 

Menikah

Akhirnya, setelah kegalauan demi kegalauan terlewati. Ketika ada seseorang yang menarik hati, atas saran dari kawan-kawan sejati, diri ini siap mengklarifikasi kepada seorang lelaki. Klarifikasi tentang adanya potensi masa depan. Menikah. Dan percayalah, rencana Allah adalah yang terbaik untuk kita. Maka tugas kita adalah ikhtiarkan yang terbaik, dan biarkan Allah memilihkan yang terbaik. Tak usah membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Allah punya cerita spesial untuk kita sendiri.  

Oh ya, Ramadan tinggal beberapa hari lagi. Mari kita siapkan diri dan hati menyambut bulan suci ini. Jika galau masih di hati, terima saja dan coba nikmati sambil terus perbaiki diri. Untuk kawan-kawanku yang masih menanti, semoga Allah segerakan jodoh yang terbaik di waktu yang terbaik dalam kondisi yang terbaik. Aamiin....

2 comments:

  1. Alhamdulillah, aku senang banget baca tulisan ini, terimakasih Shofy :)

    ReplyDelete