Friday, December 18, 2020

[Cerita dan Tarian] V - It just Feels Right

(cerita sebelumnya [Cerita dan Tarian] IV)


Sesekali kulirik lelaki di sebelahku ini. Bukan pertama kalinya aku bepergian jauh dengan seorang lelaki baik untuk perjalanan profesional atau sekedar liburan. Namun kali ini rasanya berbeda, apalagi setelah ia menjawab pertanyaan pertama tadi. Aku merasa ada harapan dan selangkah lebih maju. 

Petang keesokan harinya, kami sudah mendarat di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Udara hangat menyambut begitu kami keluar dari pesawat. Kelembaban tropis begitu setelah beberapa jam lalu masih dalam aroma musim dingin. Tapi itu tak jadi soal. Daripada memikirkan cuaca, aku lebih sibuk dengan pikiranku karena dua hari lagi adalah hari pernikahan sepupuku, alasan utamaku pulang. Itu artinya kami akan bertemu dengan keluarga besar.

Aku yang mungkin kelihatan 'alim' di mata keluarga, untuk pertama kalinya aku membawa 'teman' dalam acara yang melibatkan keluarga besar. Orang asing lagi. Laki-laki lagi. Entahlah, aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa reaksi dan komentar keluarga besarku. Huft, semoga tidak ada yang merasa canggung, harapku. Dan syukurlah, sepupu-sepupuku yang rata-rata lebih tua dariku sangat ramah dan membuat kita semua merasa nyaman. Dia pun nampak tak canggung meski jadi jauh lebih pendiam dari biasanya. Aku merasa tak hentinya tersenyum melihat diamnya mengamati lingkungan. Menurut pengakuannya, ini adalah belahan bumi paling selatan yang pernah ia sambangi. Belahan bumi di selatan khatulistiwa. I totally can relate. Aku sangat paham karena aku pun begitu ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jepang. Otakku sibuk mencerna hal baru. Ada beberapa hal yang di Indonesia adalah common sense ternyata tidak di Jepang. 

"Seberapa sering kalian mengalami hujan zenith?" tanyanya waktu itu dalam perjalanan dari bandara menuju rumah salah satu sepupuku. 

"Hah? hujan apa?" tanyaku balik tak paham maksud pertanyaannya. Sepupuku, Mbak Ayu, yang menjemput kami di bandara pun tak kalah bingung. 

Dia pun berusaha menjelaskan diskripsi hujan yang dimaksud yaitu hujan yang terjadi akibat pertemuan dua angin pasat yang membentuk gumpalan naik ke atas awan karena pemanasan yang akhirnya menyebabkan awan menjadi menjadi menggumpal, kemudian mengalami titik jenuh, dan akhirnya hujan. 

"Ya emang gitu kan yang namanya hujan?" aku masih gagal paham kenapa dia tanya hal yang sudah jelas. Butuh beberapa waktu dan sedikit diskusi sengit untuk hanya membahas tentang hujan sampai akhirnya aku ingat memang ada beberapa jenis hujan. Aku tidak ingat pelajaran geografi yang entah sudah berapa abad yang lalu tentang macam-macam hujan karena di Indonesia kita paling sering mengalami satu macam hujan saja, hujan tropis. Hujan yang membuat kita basah kuyup seketika. Tapi ketika aku di Jepang, kadang aku merasa hujan di Jepang aneh. Kadang hujannya "bercanda" doang karena tidak membuat basah kuyup tapi cukup nampak terlalu lebat untuk disebut hujan rintik-rintik. Bukan aku saja orang Indonesia yang pernah mengomentari kalau hujan di Jepang ini ga bikin basah. Mbak Ayu pun yang pernah mengunjungiku di Jepang mengomentari hal yang sama. 

Barulah aku sadar ini salah satu common sense gap di antara kita. "Oh I see... ya maaf, kita lupa ada macam-macam hujan. Di Indonesia ya seperti ini hujannya. Bulirnya besar-besar langsung bikin basah," jawabku akhirnya menutup bahasan tentang hujan.

***

Hari ini, sepekan sudah kami berada di Indonesia. Ditambah perjalanan dari hari kami berangkat dari kota kami tinggal di Jepang, total sudah sepuluh hari kami selalu bersama. Ini rekor. Seingatku, tak pernah aku menghabiskan waktu se-intens itu dengan seseorang dan aku tak merasa bosan! 

Sepuluh hari setelah menjawab pertanyaan pertama, akhirnya pagi tadi ia menjawab pertanyaan kedua. Ia menyebutkan apa itu rukun Islam dan rukun Iman. Aku membantunya sedikit sehingga dapat lebih lancar menyebutkan poin-poinya.

"Jadi rukun islam ada lima yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji sedangkan rukun iman ada enam yaitu percaya pada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para nabi dan rasul, hari akhir dan takdir-takdir qadha dan qadhar."

"Yep. Terima kasih sudah dijawab."

"Lalu pertanyaan ketiga?" 

"Pertanyaan ketiga adalah tetang hadist Arbain yang pertama. Apa isi dan maksdunya." 

Pertanyaan pertama ia jawab setelah satu bulan, pertanyaan kedua setelah sepuluh hari. Untuk pertanyaan ketiga ini aku menebak-nebak mungkin tiga hari atau bahkan dalam perjalanan kami kembali ke Jepang. Namun tak kusangka beberapa jam kemudian, lebih tepatnya sore hari ia menjawab pertanyaan ketiga, dari hasil googling tentu saja. 

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Terima kasih lagi sudah menjawab ketiga pertanyaanku...."

"Ya kan sebenarnya tinggal googling. hehe..."

"Ya tapi kan setidaknya kamu ada usaha untuk cari tahu dan menjelaskan dengan kata-katamu sendiri..."

"yang ternyata kamu juga tidak terlalu peduli apakah penjelasanku benar atau salah."

"Well. Itu lah kenapa kita jadi berdiskusi untuk mensinkronasi pemahaman dari ilmu yang selama ini aku pahami dan apa yang kamu baca, kan? Dan akhirnya aku bisa lebih menjelaskan kenapa aku menanyakan ketiga pertanyaan itu." Aku berhenti sejenak menarik napas sambil kembali memilih kata. Ini lah waktu yang kutunggu-tunggu. Semacam presentasi hasil perenunganku selama berbulan-bulan. 

"Jadi, selama ini aku selalu berpikir, apa sih yang sebenarnya aku cari. Kenapa sih aku ingin menikah. Orang seperti apa yang sebenarnya aku cari. Sekali lagi terima kasih kamu telah membantuku sadar bahwa aku ingin seseorang yang aku merasa nyaman mengutarakan segala isi pikiran dan perasaanku dan tidak terintimidasi dengan mimpi-mimpiku dan caraku berbicara."

"Dan selama kita berteman, kita tahu kita merasa nyaman satu sama lain. Namun keyakinan kita terhadap Tuhan menahan kita untuk menepis kemungkinan yang mungkin memang ada. Dari situ aku semakin dalam lagi bertanya pada diriku apakah tujuan hidupku. Dan aku semakin yakin bahwa memang tujuanku di dunia ini hanya beribadah. Jadi aku apapun yang aku lalukan adalah bentuk aku beribadah kepada Allah, sesimpel aku makan, minum, belajar, bekerja, bersosialisasi, dan lain-lain, itu semua demi mendapat ridho Allah. Termasuk menikah. Tentu saja aku tidak sempurna. Aku masih melakukan kesalahan di sana sini, tapi aku berusaha untuk terus menjadi diri yang lebih baik. Karena itu aku memilih pasanganku tidak hanya untuk di dunia ini, tapi juga untuk di akhirat. Selamanya. Bersama-sama berproses untuk menjadi diri yang lebih baik dan bermanfaat."

"Perbedaan antara kamu dan aku saat ini adalah tentang ilmu Tauhid itu. Mungkin aku lebih dulu mengenal Allah, tapi aku pun masih terus belajar. Dan belajar tentang tauhid dan menguatkannya di dalam diri adalah proses pembalajaran seumur hidup. Kalau Tauhid sudah terpatri kuat di dalam diri, maka hati akan lebih mudah memenuhi seruanNya, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Namun, sebagai manusia, kita tidak bisa menilai sebearapa kuat tauhid itu dalam diri seseorang. Karena itu, aku pun tidak akan bisa memaksakan tauhid itu ada pada dirimu melainkan harus kamu sendiri yang mencarinya dengan cara belajar."

Ia berhenti sejenak memastikan dia mengikuti penjelasanku. "Dan untuk belajar kita perlu mendedikasikan waktu dan tenaga khusus. Itu mengantarkanku pada pemahaman mengapa kita menjadi Muslim. Setelah aku renungkan lagi, menjadi muslim itu ternyata sesederhana mengamalkan rukun Islam yang lima itu. Ketika kamu mengucapkan syahadat, bahwa kamu bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu sudah bisa disebut muslim. Meskipun mungkin dalam hatimu masih ada keraguan, selama kamu bilang kamu muslim, orang lain tidak bisa mengatakan kamu bukan muslim. Itulah kenapa kita perlu sholat, puasa, zakat dan haji sebagai bentuk komitmen kita sebagai muslim yang paling asasi untuk meng-koneksi-kan diri kita pada Allah. Itulah perbedaan dasar antara muslim dan non muslim dalam hubungan kita kepada Allah. Komitmen itu yang membawa kita untuk belajar terus mengenal Allah dan mengerjakan segala sesuatu karena Allah."

"Jadi, asalkan kamu berkomitmen menjalankan rukun Islam dan terus belajar mengimani yang enam itu seumur hidup, itu cukup buatku. Aku tidak meminta apapun darimu selain itu, namun jika kamu meninggalkanya, terutama sholat, maka kita selesai."

"Terkait dengan pertanyaan ketiga, kalau pun kamu nanti masuk Islam hanya karena ingin menikah denganku, pernikahan itu tetap sah. Namun dengan terus menjalankan sholat, puasa di bulan Ramadhan, zakat, dan haji minimal sekali seumur hidup, kuharap niat itu bisa terus kita perbaiki dengan semakin kenalnya kamu dengan Allah. Bersama-sama kita belajar menjadi lebih baik." 

Kutunggu lagi reaksi darinya setelah aku selesai dengan penjelasaknku yang hanya ia tanggapi dengan "I see". Namun tak ada komentar lain. Mengecewakan. Meskipun ada rasa tak puas, aku berhasil menahan diri untuk tidak membahasnya lebih lanjut hingga keesokan harinya ia mengejutkanku dengan sebuah catatan.

Ia memintaku membaca catatan yang ia buat semalam untuk disampaikan ke ayahku. Ia melamarku. Rasanya tak percaya.

"Kamu yakin?"

"Kurasa, Ya, aku yakin."

"Tapi hari ini hari terakhir sebelum kita balik ke Jepang."

"Ya berarti hari ini aku bilang ke ayahmu."

 
Ketika aku mengungkapkan pertanyaan pertama bulan lalu, aku memang berharap dia akan menjawab ketiga pertanyaanku sebelum perjalanan ke Indonesia sehingga lebih jelas status liburan kita. Kalau setelah menjawab ketiga pertanyaan keputusan kita adalah 'tidak lanjut', ya kita akan nikmati liburan sebagai teman. Namun kalau keputusannya adalah lanjut, maka kita bisa langsung menikah meskipun kuakui agak tidak mungkin.

Tapi ternyata Allah punya skenario lain. Ia membolak balikkan hati kita hingga bahkan kita tak tahu apa yang dimau si hati besok. Pagi ini kita hanya berniat mendapatkan restu orang tua dengan meminta waktu untuk belajar dulu tentang Islam, mungkin satu tahun cukup? Namun ternyata siang hari itu ia tergerak untuk ikut ayahku sholat Jum'at meskipun belum pernah sekalipun ia coba sholat. Seminggu kemudian, ia putuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menikah sehari sebelumnya.

Beberapa pekan setelah kita menikah, ada beberapa lintasan pikiran yang tiba-tiba muncul mempertanyakan keputusan kita. Namun aku yang sebelumnya tak pernah dekat dengan laki-laki, merasa nyaman saja dengannya. Tak ada rasa canggung atau malu-malu yang sempat aku kubayangkan. Dia yang tak pernah berteman dekat dengan seorang muslim sebelumnya pun tak merasa asing ketika menerima kenyataan bahwa ia akan menikah secepat itu dangan seorang wanita muslim dan hidup sebagai seorang muslim.

"Kita terlalu terburu-buru ga sih?"

Ia mengendikkan bahu, "Mungkin. But it just feels right.

No comments:

Post a Comment