Wednesday, November 25, 2020

Rasa yang Tak Sama

Saat itu umurku 20 tahun ketika salah sahabatku menikah. Setelah menikah dia berubaha total, bahkan tidak meneruskan kuliahnya. Aku sempat marah dan tidak terima, tapi aku bisa memahami keadaaannya waktu itu karena, pertama, dari awal dia memang tidak suka jurusan kuliahnya, dan yang kedua, memang suaminya berbeda pemikiran tentang cara pandang sebagian besar dari kita saat itu. Ah agak susah menjelaskannya, intinya aku tidak kaget ini akan terjadi.

Tapi, ketika sahabat keduaku menikah tahun berikutnya, aku benar-benar tidak bisa menerima perubahan dia saat itu. Tentu saja aku sangat bahagia atas pernikahannya dan rela menempuh perjalanan jauh untuk menghadiri pernikahannya. Berbeda dengan sahabat sebelumnya, yang kedua ini aku tidak menyangka perubahannya akan se-signifikan itu. Ada beberapa perubahan sikap yang aku tidak bisa terima saat itu sehingga dia benar-benar menangis karena tak tahu harus bagaimana. Tapi akhirnya aku sadar, biar bagaimana pun, prioritas sahabatku itu sudah bergeser. Rasanya pertemanan kita beberapa tahun ini tak ada pengaruhnya sama sekali. Sejak kejadian (pertengkaran) kita waktu itu, meskipun tidak diucapkan dengan kata-kata, aku mundur teratur menarik diri dari kehidupannya dan (waktu itu) sepertinya dia tidak begitu peduli. Ah sudahlah...

Ketika umurku 25 tahun, gelombang undangan pernikahan dimulai. Lebih dari selusin di tahun itu kawan-kawan sebayaku (teman SMA) menikah. Tapi aku tidak bisa hadir hampir di semua undangan itu karena sudah berada di Jepang yang meskipun sedih, sebenarnya aku syukuri juga. Sejak SMA memang aku yang kelihatan sekali ingin menikah muda ketika sebagian besar kawanku terlalu sibuk belajar. Tapi kenyataannya aku yang 'ditinggal' duluan. Tapi aku tak terlalu sedih juga karena sahabat-sahabat terdekatku, yang aku sering ngobrol, masih belum menikah dan masih selalu ada untukku. Jarak seolah bukan penghalang. Kita bisa telepon dan chit chat berjam-jam hampir setiap waktu.

Di Jepang, aku juga punya beberapa sahabat yang aku sering ngobrol. Namun, ketika salah satu dari mereka menikah, secara naluri, aku sedikit demi sedikit menarik diri darinya. Mungkin aku sedikit trauma dengan kejadian ketika sahabat keduaku menikah. Sejak kejadian itu memang aku sudah menyimpulkan bahwa segalanya berubah ketika sudah menikah. 

Sahabatku yang orang Bangladesh itu sadar sikapku tak lagi sama dan mungkin dia paham sebabnya. Dia tahu sejak dulu aku sudah ingin menikah, tapi malah dia duluan yang menikah. Meskipun aku  'cemburu' dia menikah lebih dulu, aku tahu dia sangat layak untuk mendapatkan kebahgiaannya. Aku sangat-sangat paham yang dialaminya beberapa waktu sebelum ia menikah. Sungguh cobaan berat baginya, dan menikah adalah salah satu 'obat' yang menjaganya tetap waras. Aku bersyukur ia akhirnya memiliki seseorang yang bisa menjaganya dan memperjuangkannya. Aku bahagia untuknya. Namun, aku juga merasa 'tugasku sudah selesai'. Kini ada suaminya yang siap mendengarkan keluh kesahnya. Membantunya di setiap langkah hidupnya dalam suka dan duka. Aku pun mundur teratur.

Berbagai macam cara ia lakukan untuk 'menarikku' seperti dulu. Tapi aku tidak mau. Rasanya sudah berubah. titik. Aku lebih memilih hang out dengan sesama single yang lain. Tentu saja aku masih berteman dengannya dan bertemu sesekali, tapi durasinya tidak selama dulu, percakapannya tidak sedalam dulu, hatiku? tak senyaman dulu. Ya, aku merasa tak nyaman lagi ngobrol dengannya meskipun aku tahu dia mencoba untuk membuatku bersahabat juga dengan suaminya. Ya, dia ingin aku juga menerima suaminya sebagai sahabatku. Mungkin itu yang membuatku tak nyaman.

Tahun demi tahun, meskipun lambat, sepertinya sahabat Bangladesh ku itu paham. Ia tak lagi 'mencoba' membuatku dekat dengannya lagi. Aku pun tahu, pasti tak mudah baginya menerima perubahan ini. Ia mencitai suaminya, ia juga sayang kepada sahabatnya. Ia tak ingin memilih. Meskipun pada akhirnya ia harus memilih. 

Setelah sahabat Bangladeshku menikah, sahabat Thailand ku (bukan muslim) punya pacar. Aku bahagia untuknya karena akhirnya dia bisa menemukan kembali hidupnya setelah patah hati yang parah, diputus sepihak setelah 8 tahun pacaran. Meskipun sedih dan merasa kesepian, aku rela dia tak lagi menghabiskan waktu denganku sejak dia punya pacar. Dia pun harus "bekerja keras" menjaga hubungannya kali ini. Sehingga, tak ada lagi ngobrol lama hingga pagi di kamarku, maupun di lab. Dia pun mulai bosan dengan kisah cinta bertepuk sebelah-tangan-ku. Hingga saat itu, aku benar-benar merasa sendiri. Kali ini, aku yang ditinggalkan.

Tapi bersyukur masih ada sahabat-sahabat seumuranku di Indonesia sesama sinlge. Entah ada pola apa, aku dan sahabat-sahabatku itu termasuk kategori para single hingga 25 tahun ke atas padahal angkatan adik-adik kami sudah lebih dulu menemukan jodohnya. Jadilah kami berenam saling menyemangati untuk terus memperbaiki diri dan mempersiapkan diri menjemput jodoh yang terbaik. Qodarullah, aku pun akhirnya menikah (alhamdulillah) beberapa bulan sebelum memasuki kepala tiga. Dan aku adalah yang pertama menikah diantara kami berenam.

Namun, semenjak aku menikah, rasanya ada perubahan. Tak ada lagi ngobrol haha hihi seperti dulu. Aku merasa mereka menarik diri dariku. Atau lebih tepatnya, tak nyaman lagi denganku. Aku paham posisi mereka pun tak nyaman. Mungkin yang meraka rasakan sama seperti perasaanku dulu ketika sahabat Bangladeshku menikah. Aku tentu bahagia dengan pernikahanku, dan aku pun yakin mereka bahagia untukku. Hanya saja, memang ada rasa yang tak sama.



No comments:

Post a Comment