"Aku mau menikah dengan wanita yang cantik," katanya tanpa dosa pada dua teman wanitanya. Aku dan Tan. Sudah kesekian kalinya dia berkata seperti itu pada kami hingga tak jarang membuat kami kesal. Pernah suatu kali dia cerita tentang teman wanitanya ketika dia masih negara asalnya. Dia bilang mereka sangat dekat dan si teman wanita sering main ke rumahnya sampai-sampai orang tua dan saudara-saudaranya bertanya ada hubungan apa diantara mereka. Tapi dia jawab hanya teman meskipun ia mengaku sadar bahwa teman wanita itu suka dengannya. Kami yang mendengar ceritanya lantas bertanya, "Kalau kamu tahu dia menyukaimu dan kamu tidak, kenapa kamu biarkan dia dekat-dekat denganmu? Kan kasihan dianya." Yang ditanya hanya mengendikkan bahu sok polos. "Lalu kenapa juga kamu tak suka dengannya?" tanyaku saat itu. "Well, dia ga cantik," kemudian dia menunjukkan foto wanita tersebut dan menyebutkan bagian-bagian wajahnya yang dia tidak suka dan membuat wanita itu tampak tak cantik di matanya. Dan kami hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kawan kami satu ini. Menurut kami wanita itu cantik loh.
"Hhh.... sudah berapa kali kubilang padamu. Kecantikan fisik itu sifatnya sementara. Cepat atau lambat wanita cantik itu akan kehilangan kecantikannya. Setelah melahirkan bisa jadi dia menggelembung. Saat tua, kulitnya sudah keriput dan tak cantik lagi. Apalagi kau bilang kau tak suka wanita ber-makeup," omel Tan kesal. Aku memilih keep calm meskipun dalam hati kesel juga dengan lelaki macam ini.
"Tapi... ibuku tetap cantik meskipun sudah tua dan tanpa make up," sanggahnya dengan tetap pasang wajah tanpa dosa yang semakin membuat Tan semakin kesal.
"Ya karena itu ibumu!"
"Tapi ibuku benar-benar cantik..."
"Hhhh..."
Aku paham sebenarnya Tan kesal untukku karena ia tahu bahwa lelaki itu tahu aku ada rasa padanya tapi dengan tanpa dosa dia mengatakan seperti itu di hadapan kami. Menurut Tan, dia benar-benar tidak bisa menghargai perasaan seorang wanita. Well, memang benar, sebagian dari rasa kesalku memang karena itu. Tapi kiranya masih dalam kadar normal sehingga masih bisa berpikir sehat.
"Ya, Tan. Aku setuju dengannya. Ibunya memang cantik," kataku kalem menengahi. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengan ibunya. Dia tidak berlebihan ketika ia mengatakan ibunya cantik. Gurat-gurat kecantikan dan anggunnya masih tampak jelas padanya yang sudah tak lagi muda. Sederhana, anggun tanpa polesan. Bibir tipisnya selalu tersenyum manis menghiasi wajahnya. Kulitnya pun putih segar dan sehat. Ia tidak terlalu tinggi, membuatnya menjadi tampak mungil dan membuat setiap orang melihatnya ingin melindunginya. Beliau nampak rapuh tapi kuat. Tak hanya fisiknya yang cantik, kepribadiannya pun, masyaaAllah. Sangat lembut dan penyayang. Kurasa setiap orang yang melihatnya akan jatuh cinta padanya. So sweet, warm and lovely. Sungguh. Kurasa hal ini menurun pada anaknya. Sama seperti ibunya, setiap orang yang pertama bertemu dengan lelaki itu pasti akan menyukainya. Tentu saja tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula ibu dan anak itu.
Beliau sangat suka memasak. Hal ini pun menurun pada hampir semua anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Yang membuatku semakin kagum, cara memasak beliau yang sangat rapi dan bersih dalam setiap prosesnya. Pernah aku membantunya di dapur (kebanyakan cuma melihat sih, karena beliau memasak masakan dari negaranya yang sama sekali asing bagiku). Dalam setiap prosesnya sungguh sangat bersih. Tak ada cipratan masakan di sekitar wajan atau sekitar tempat memasak kecuali beliau langsung bersihkan. Langsung. Ga nunggu selesai masak baru dibersihkan. Suatu hari aku belajar memasak dari anaknya. Karena tak terbiasa memasak dan memang karakterku yang kasar (menurut sebagian orang), tak butuh waktu lama, ketika lelaki itu keluar sebentar untuk suatu urusan dan meninggalkanku bersama tepung, alat masak dan kawan-kawan, aku sudah membuat tempat menjadi kotor, bahkan aku sendiri belepotan tepung. Dia yang selalu melihat ibu dan kakak-kakaknya memasak benar-benar terkejut dan tak habis pikir kenapa aku bisa seceroboh itu. Aku pun hanya bisa mengendikkan bahu. Yah, bukan maksudku membuat tempat menjadi kotor, tapi menjaga tepung tetap pada wadahnya memang tidak mudah (menurutku).
Ibunya juga wanita yang tidak ingin mendapat penghormatan lebih. Tapi nyatanya ia selalu mendapatkannya dari dari anak-anaknya. Aku sungguh kagum dengan caranya memperlakukan anak dan suaminya. Sungguh lembut. Pernah suatu kali ketika pertama kalinya aku bergabung makan malam dengan mereka, mereka tak punya cukup piring. Karena aku tamu, tentu aku mendapat prioritas mendapatkan piring. Kemudian lelaki itu meletakkan dua piring lain pada orang tuanya sedangkan ia sendiri hanya mendapatkan piring kecil yang sebenarnya untuk tatakan cangkir. Saat itu ibunya tidak menyadari kalau anak laki-lakinya tidak mendapat piring. Aku sebenarnya tahu duluan, tapi aku tahu posisiku sebagai tamu, jadi aku tidak berkata-kata. Tapi ga enak juga melihatnya makan dengan tatakan gelas. Jadi aku hanya melihat kearahnya dengan tatapan bingung, dalam hati mempertimbangkan apakah aku harus bertukar piring atau diam saja lanjut makan. Tak lama kemudian ibunya sadar dan segera berusaha mengambil piring itu dari tangan anaknya dan menukar dengan piringnya. Tapi si anak bersikeras tak mau menukar piringnya. Sambil mempertahankan tatakan gelas di tangannya, si anak menggeleng lembut tapi tegas pada ibunya sambil tersenyum. Ah, mungkin aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Tapi dari adegan rebutan piring ini, sungguh aku melihat adanya kelembutan, kehangatan, rasa saling menghormati dan menghargai, rasa saling ingin berkorban satu sama lain, dan kasih sayang unconditional hadir dalam keluarga itu. Mungkin aku berlebihan, tapi itu lah yang kurasakan.
"Ayahmu sungguh beruntung mendapatkan ibumu," kataku padanya.
"Yeah.... I think so." balasnya menggangguk setuju. Tan pun tidak melanjutkan protesnya dan kita mengganti topik pembicaraan.
Beberapa bulan kemudian Tan akhirnya berkesempatan bertemu dengan ibunya. Segera setelah kami berada diluar jangkauan ibunya Tan berkata, "Shofi, kau benar ibunya sangat cantik, manis, dan lembut. Aku jadi merasa diriku sangat kasar dalam segala hal."
"Jadi, aku tidak berlebihan kan ketika mengatakan ibunya cantik?"
"Tidak sama sekali. haha..."
"Jadi ya wajar kalau dia ingin mencari wanita seperti ibunya. Semua lelaki pasti juga mau yang seperti itu. hahaha..."
“Ya.... dan kalau standar istrinya seperti ibunya, kamu masih terlalu jauuuuh....”
Hahaha.... Aduh tapi kok nyeseg juga ya =))
"Hhh.... sudah berapa kali kubilang padamu. Kecantikan fisik itu sifatnya sementara. Cepat atau lambat wanita cantik itu akan kehilangan kecantikannya. Setelah melahirkan bisa jadi dia menggelembung. Saat tua, kulitnya sudah keriput dan tak cantik lagi. Apalagi kau bilang kau tak suka wanita ber-makeup," omel Tan kesal. Aku memilih keep calm meskipun dalam hati kesel juga dengan lelaki macam ini.
"Tapi... ibuku tetap cantik meskipun sudah tua dan tanpa make up," sanggahnya dengan tetap pasang wajah tanpa dosa yang semakin membuat Tan semakin kesal.
"Ya karena itu ibumu!"
"Tapi ibuku benar-benar cantik..."
"Hhhh..."
Aku paham sebenarnya Tan kesal untukku karena ia tahu bahwa lelaki itu tahu aku ada rasa padanya tapi dengan tanpa dosa dia mengatakan seperti itu di hadapan kami. Menurut Tan, dia benar-benar tidak bisa menghargai perasaan seorang wanita. Well, memang benar, sebagian dari rasa kesalku memang karena itu. Tapi kiranya masih dalam kadar normal sehingga masih bisa berpikir sehat.
"Ya, Tan. Aku setuju dengannya. Ibunya memang cantik," kataku kalem menengahi. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengan ibunya. Dia tidak berlebihan ketika ia mengatakan ibunya cantik. Gurat-gurat kecantikan dan anggunnya masih tampak jelas padanya yang sudah tak lagi muda. Sederhana, anggun tanpa polesan. Bibir tipisnya selalu tersenyum manis menghiasi wajahnya. Kulitnya pun putih segar dan sehat. Ia tidak terlalu tinggi, membuatnya menjadi tampak mungil dan membuat setiap orang melihatnya ingin melindunginya. Beliau nampak rapuh tapi kuat. Tak hanya fisiknya yang cantik, kepribadiannya pun, masyaaAllah. Sangat lembut dan penyayang. Kurasa setiap orang yang melihatnya akan jatuh cinta padanya. So sweet, warm and lovely. Sungguh. Kurasa hal ini menurun pada anaknya. Sama seperti ibunya, setiap orang yang pertama bertemu dengan lelaki itu pasti akan menyukainya. Tentu saja tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula ibu dan anak itu.
Beliau sangat suka memasak. Hal ini pun menurun pada hampir semua anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Yang membuatku semakin kagum, cara memasak beliau yang sangat rapi dan bersih dalam setiap prosesnya. Pernah aku membantunya di dapur (kebanyakan cuma melihat sih, karena beliau memasak masakan dari negaranya yang sama sekali asing bagiku). Dalam setiap prosesnya sungguh sangat bersih. Tak ada cipratan masakan di sekitar wajan atau sekitar tempat memasak kecuali beliau langsung bersihkan. Langsung. Ga nunggu selesai masak baru dibersihkan. Suatu hari aku belajar memasak dari anaknya. Karena tak terbiasa memasak dan memang karakterku yang kasar (menurut sebagian orang), tak butuh waktu lama, ketika lelaki itu keluar sebentar untuk suatu urusan dan meninggalkanku bersama tepung, alat masak dan kawan-kawan, aku sudah membuat tempat menjadi kotor, bahkan aku sendiri belepotan tepung. Dia yang selalu melihat ibu dan kakak-kakaknya memasak benar-benar terkejut dan tak habis pikir kenapa aku bisa seceroboh itu. Aku pun hanya bisa mengendikkan bahu. Yah, bukan maksudku membuat tempat menjadi kotor, tapi menjaga tepung tetap pada wadahnya memang tidak mudah (menurutku).
Ibunya juga wanita yang tidak ingin mendapat penghormatan lebih. Tapi nyatanya ia selalu mendapatkannya dari dari anak-anaknya. Aku sungguh kagum dengan caranya memperlakukan anak dan suaminya. Sungguh lembut. Pernah suatu kali ketika pertama kalinya aku bergabung makan malam dengan mereka, mereka tak punya cukup piring. Karena aku tamu, tentu aku mendapat prioritas mendapatkan piring. Kemudian lelaki itu meletakkan dua piring lain pada orang tuanya sedangkan ia sendiri hanya mendapatkan piring kecil yang sebenarnya untuk tatakan cangkir. Saat itu ibunya tidak menyadari kalau anak laki-lakinya tidak mendapat piring. Aku sebenarnya tahu duluan, tapi aku tahu posisiku sebagai tamu, jadi aku tidak berkata-kata. Tapi ga enak juga melihatnya makan dengan tatakan gelas. Jadi aku hanya melihat kearahnya dengan tatapan bingung, dalam hati mempertimbangkan apakah aku harus bertukar piring atau diam saja lanjut makan. Tak lama kemudian ibunya sadar dan segera berusaha mengambil piring itu dari tangan anaknya dan menukar dengan piringnya. Tapi si anak bersikeras tak mau menukar piringnya. Sambil mempertahankan tatakan gelas di tangannya, si anak menggeleng lembut tapi tegas pada ibunya sambil tersenyum. Ah, mungkin aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Tapi dari adegan rebutan piring ini, sungguh aku melihat adanya kelembutan, kehangatan, rasa saling menghormati dan menghargai, rasa saling ingin berkorban satu sama lain, dan kasih sayang unconditional hadir dalam keluarga itu. Mungkin aku berlebihan, tapi itu lah yang kurasakan.
"Ayahmu sungguh beruntung mendapatkan ibumu," kataku padanya.
"Yeah.... I think so." balasnya menggangguk setuju. Tan pun tidak melanjutkan protesnya dan kita mengganti topik pembicaraan.
Beberapa bulan kemudian Tan akhirnya berkesempatan bertemu dengan ibunya. Segera setelah kami berada diluar jangkauan ibunya Tan berkata, "Shofi, kau benar ibunya sangat cantik, manis, dan lembut. Aku jadi merasa diriku sangat kasar dalam segala hal."
"Jadi, aku tidak berlebihan kan ketika mengatakan ibunya cantik?"
"Tidak sama sekali. haha..."
"Jadi ya wajar kalau dia ingin mencari wanita seperti ibunya. Semua lelaki pasti juga mau yang seperti itu. hahaha..."
“Ya.... dan kalau standar istrinya seperti ibunya, kamu masih terlalu jauuuuh....”
Hahaha.... Aduh tapi kok nyeseg juga ya =))
No comments:
Post a Comment