Sepekan sebelumnya, dalam perjalan menuju dance class di Kota sebelah,
"What are looking for in a relationship?" Apa yang kamu cari dari sebuah hubungan? Tanyaku ketika kulihat ada kesempatan. Biasanya kami pergi bertiga, tapi kali ini Sabrina tidak ikut. Dia dan Sabrina adalah kawan akrab semenjak dia pertama datang di kampus kami. Sama-sama penari. Dulu waktu kecil mereka sama-sama ikut kelas balet. Tapi beranjak dewasa Dia lebih fokus pada ballroom dance sedangkan Sabrina lebih senang free style dance. Tapi intinya keduanya suka menari dan akhirnya tergabung dalam sebuah tim Yosakoi, sebuah aliran tarian modern-transional Jepang.
Selain itu, mereka dua juga ikut klub tari di kota sebelah. Biasanya Sabrina yang memimpin dan mengajar tari kecuali kalau berhalangan hadir, Dia yang akan menggantikan Sabrina seperti malam ini. Kadang aku ikut mereka ke klub tari karena bosan dan mati gaya di asrama kampus yang berada di tengah antah berantah.
"Intinya dalam sebuah hubungan, aku ingin kita sama-sama independently dependent," jawabnya setelah sedikit rileks dari konsentrasi menyetir. Sebelum aku sempat menanyakan maksud jawabannya, dia sudah melanjutkan penjelasannya."Jadi aku ingin kita masing-masing tetap memiliki kehidupan sendiri misalnya pekerjaan dan aktivitas tidak harus sama. Pasanganku tetap harus bekerja dan punya kehidupannya sendiri tanpa bergantung sepenuhnya denganku. Misalnya kita harus LDR dulu beberapa bulan, aku tidak masalah. Tapi pada akhirnya kita masing-masing saling membutuhkan satu sama lain dan selalu membutuhkan satu sama lain untuk terus bersama."
Ia berhenti sejenak menunggu reaksiku. Aku hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun, membuatnya tak yakin apakah aku paham maksudnya. "Bingung ga? Dalam sebuah hubungan kita harus independently dependent. Paling tidak itu yang kucari. hehee..."
"No. Aku paham maksudmu. Kamu pengen wanita mandiri yang bisa mengurus dirinya sendiri tapi mau menghabiskan sisa hidupnya denganmu. Mau ikut kemana pun kamu pergi. ya kan? Sungguh egois. hahaha...." balasku akhirnya. Dia hanya mamnyunkan bibir mengiyakan. Jujur, aku tidak keberatan dengan itu meskipun terdengar egois. Tapi, siapa manusia di bumi ini yang sesungguhnya tidak egois? okee, mungkin memang ada orang seperti itu. Tapi aku selalu berpikir, manusia pasti punya ego meskipun proposinya berbeda-beda dan menurutku tak banyak orang yang mau mengakuinya meletakkan dalam proporsi yang tepat.
"Tapi, aku masih heran kenapa orang barat macam kamu, yang teman wanitanya banyak, lebih banyak jomblonya?" tanyaku lagi. Ya, kesannya waktu itu memang aku seperti sedang mewawancarai dia karena lebih banyak aku yang bertanya dan dia nampak dengan senang hati menjawab. Aku merasa dia memang sengaja membuatku banyak bertanya. hmm....
"Sudah kubilang kan, karena aku ini pemalu kalau sudah urusan hati," balasnya.
"Halah prettt... Pemalu dari mana," sangkalku.
"Beneran... kalau aku suka sama cewek, aku mau dekat sama dia tapi aku malu harus melangkah duluan, paling banter ya bercandain dia aja....."
Jeng jeng jeeeeeng......... bercandain aja???? Selama ini dia terus 'bercanda' kalau dia suka denganku, suka pura-pura melamarku dan menjadi suamiku. Apakah itu... hmmmm... Tiba-tiba pikiran itu langsung berkecamuk di kepalaku, namun secepat kilat kembali ke realitas.
"Ah I see..... kamu takut ditolak kan....." kumulai memancing.
"Iya. hehee." Dia pun tak menyangkal.
Sejenak kutarik napas dan, "Oke... aku suka kamu," kataku akhirnya. Hening sejenak sepersekian detik. Aku menunggu.
"Aku juga suka kamu," katanya tiba-tiba. Jujur, ada sedikit rasa lega setidaknya rasa ini tidak bertepuk sebelah tangan.
"Apa itu bercanda?" Tanyaku segera setelah menguasai diri.
"Tidak," katanya.
"Menurutmu apakah kita mungkin ada masa depan?" sengaja aku tidak melanjutkan kalimat karena memang tidak menemukan kata yang tepat.
Berpikir sejenak. "Jika mempertimbangkan mungkin atau tidak mungkin, kemungkinan itu pasti ada. Tapi kalau boleh jujur, hampir tidak mungkin," katanya kemudian. Cukup mengecewakan.
Tapi aku tidak menyerah. "Bagaimana kalau kubilang kita mungkin?"
"Karena ada beberapa hal dari masing-masing diri kita yang tidak bisa dinegosiasi."
"Apa itu yang tidak bisa dinegosiasi?" Tanyaku retoris. Tanpa menunggu jawabannya, aku melanjutkan "Well, aku pikir kita mungkin saja. Permasalahannya adalah kamu belum mengenalku, kamu belum pernah mencoba mengenal Islam...."
"Tapi aku sudah tahu lumayan banyak tentangmu kan," elaknya. Dia merasa sudah cukup mengenal, memahami dan mengertiku yang sebagian memang kuakui benar. Mungkin itu salah satu sebab aku menyukainya, karena dia bisa memahamiku ketika orang lain bahkan agak kesulitan mengerti maksud kata-kataku yang sering random.
"Tapi masih banyak hal yang kamu belum tahu juga. Dan aku tidak bisa menjelaskan apa itu kalau bukan kamu sendiri yang mencari tahu." Berhenti sejenak kutunggu apa reaksinya. Entah dia sedikit mengangguk atau tidak yang jelas tak ada sepatah kata pun darinya saat itu.
"Setelah berpikir panjang dan berulangkali bertanya pada diri sendiri, akhirnya aku mengambil kesimpulan, kalau kamu mau mengenalku lebih dalam, kamu bisa mencoba menjawab tiga pertanyaan yang setiap pertanyaannya boleh kamu jawab kapan saja....."
"Ya, Sarah. Aku mau mengenalmu." Ada sedikit lonjakan di dada ketika dia tiba-tiba memotong kata-kataku itu. Kejutan yang membahagiakan. Tapi cepat aku menguasai diri dan melanjutkan kata-kataku.
"OK, kalau benar-benar serius, aku beri tantangan pertanyaan pertama dan kamu boleh cari referensi dari mana pun, atau tanya kepada siapapun. Setelah kamu jawab pertanyaan pertama, baru nanti kuberikan pertanyaan berikutnya. Hingga pertanyaan ketiga, baru setelah itu kita lihat apakah kita ada masa depan."
"Baik. Tapi jika pada akhirnya kita memang tidak mungkin, bisakah kita tetap berteman?"
"Tentu saja! Aku tidak pernah unfriend siapa pun. Bahkan kepada orang membuatku mematahkan hatiku sendiri."
"hahahahaha..." Ya, dia tahu cerita patah hatiku yang cukup cheesy itu. "OK. Boleh tolong kamu tulis pertanyaannya nanti di chat? Takut lupa."
"I will," jawabku menyepakati. "Oh, satu permintaan. Tolong jangan katakan kepada siapa pun ya, termasuk kepada sahabatmu itu. Aku juga tidak cerita kepada siapa pun kok."
"OK. Tapi mungkin aku akan cerita ke adikku. Kupikir tidak masalah kan kalau aku cerita ke keluargaku." Sekali lagi aku sepakat.
Tak berapa lama kami sudah sampai ke asrama kampusku. Kami pun berpisah setelah bertukar "See you". Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju kamar yang luasnya 12.5 meter persegi itu, yang kawanku sering bilang prison-cell-size room.
Sampai kamar, segera ku ambil air wudhu dan sholat dua rakaat dan doa istikharah memohon petunjuk dan ketenangan dari Allah. Mungkin seperti ini rasanya seorang ABG habis nembak cewek, pikirku. Tak hentinya ku tersenyum tapi takut di saat yang bersamaan. Senang karena akhirnya rasa bersambut, tapi takut kalau yang kulakukan adalah sebuah kesalahan dan awal dari keburukan.
Entah sudah berapa lama aku sholat dan tilawah Al-Qur'an untuk menangkan diri. Akhirnya setelah hati lebih tenang, kuambil smartphoneku dan kutuliskan pertanyaan pertama untuknya.
So the 1st question is all about Tawhid and Ihsan. Sent. Pesan terkirim tertanggal 15 November 2019 pukul 23:03 JST. Kuminta dia mencari tahu segala sesuatu tentang tauhid dan ikhsan.
Okay, I will try to find the true meanings of those 😊. Pesan balasan darinya di menit yang sama. Kuhela nafas dan sejak saat itu ku menunggu.
Keesokan harinya seperti biasa aku bertemu dengannya bersama kawan-kawan lain di jam makan siang. Seperti yang sudah disepakati, kami bersikap "normal" seolah tak terjadi apa-apa di antara kita. Hari terus berganti hingga lebih dari sebulan lamanya, masih saja tak ada "jawaban" darinya.
Aku bingung dan galau dibuatnya. Tapi aku sudah berjanji untuk memberinya waktu selama yang dia mau dan memang tak ada ikatan apa pun diantara kita. Sempat ku-iya-kan tawaran ta'aruf dari seorang kawan lama saat itu. Tapi ketika mau mulai ta'aruf rasanya hati tak mantap untuk melanjutkan proses itu. Kumemilih kembali dalam kubangan kegalauan yang tak pasti.
19 Desember 2019
Hari yang ditunggu. Sejak beberapa bulan lalu aku sudah sudah ada rencana untuk pulang ke Indonesia karena kakak sepupuku menikah. Maka kuajak lah beberapa kawan untuk ikut berlibur ke Indonesia. Dari sekian orang yang kuajak, hanya dia yang akhirnya bisa ikut. Waktu itu, ketika memesan tiket, aku belum menyangka akan terjadi "kejadian tak terduga" itu. Tapi setelah kusampaikan pertanyaan pertama, aku sempat berangan dia akan lebih cepat menjawab ketiga pertanyaan sebelum saatnya kita berangkat ke Indonesia. Namun hingga hari ini, ketika shuttle bus mulai mengantarkan perjalanan "Tour to Indonesia" kita, masih saja belum ada tanda-tanda ianya akan menjawab pertanyaan pertama itu.
Dalam perjalaan, kita asyik ngobrol banyak hal, terutama tentang pribadi masing-masing. Agaknya kita sama-sama tertarik untuk mengulik pribadi satu sama lain. Dari awal perjalanan sudah kutahan diri untuk tidak menanyakan perihal "pertanyaan pertama", tapi pada akhirnya sadar bahwa kita sama-sama menikmati percakapan, aku beranikan diri untuk bertanya lagi,
"Jadi, bagaimana dengan pertanyaan pertama?" tembakku.
"Oh ya. Jadi Tauhid adalah ...... (bla bla bla)," fasih dia menjelaskan hasil pencarian dia tentang tauhid dari Google. Aku hanya mengangguk angguk sebagai respon tanpa memotong sepatah kata pun.
Sekali lagi aku hanya mengangguk sebagai tanggapan. "Bagaimana? Apa jawabanku salah?" tanyanya karena aku tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun.
"Sebentar, aku sedang merangkai kata," kataku meminta waktu untuk berpikir memilih kata yang tepat. Jawaban yang dia berikan murni dari hasil pencarian Google. Aku tidak keberatan karena memang tidak berekspektasi terlalu tinggi dengan jawabannya. Setidaknya dengan dia bisa menjawab, paling tidak dia sempat membaca.
"Aku akan kasih tahu alasan kenapa aku tanya pertanyaan satu sampai tiga nanti setelah aku sukses menjawab tiga pertanyaan," kataku akhirnya. "Untuk jawaban dari pertanyaan pertamamu, tentang Tauhid, memang benar bahwa tauhid adalah tentang monoteism. Tentang ketuhanan yang satu, yaitu Allah. Itu lah dasar dari segala dasar dari Islam. Rasulullah Muhammad salallahu 'alaihi wassalam bahkan pada awal datangnya Islam fokus pada pengajaran tauhid, tiga belas tahun dari dua puluh tiga tahun selama beliau mengajarkan Islam adalah tentang tauhid." Kujelaskan sebisaku, sepengetahuanku tentag tauhid padanya.
"I see....Sebenarnya aku sudah ketemu jawaban, definisi tauhid, lima menit setelah kamu kasih pertanyaan. Tapi aku ragu jawaban macam apa yang sebenarnya kamu minta. Tapi nampaknya kamu tidak masalah dengan apapun jawabanku asalkan aku benar-benar mencari tahu."
"Betul. Setidaknya kalau kamu sudah baca-baca sebelumnya, lebih mudah bagi kita untuk diskusi dan synchronize." Ia mengangguk paham. "Lalu apa itu ikhsan?" Tanyaku lagi karena dia belum menjawab apapun tentang ikhsan.
"hmmmm......" ia berpikir sejenak, "Aku sudah cari tahu tentang itu, tapi tak banyak referensi dan referensi yang ada menjelaskan hal yang berbeda-beda. Tapi kalau menurut WIkipedia, Ihsan itu ..........."
Aku mengunggunya menyelesaikan penjelasan yang dia dapat dari Wikipedia. Setelah dia selesai, baru aku menanggapinya, menyampaikan padanya apa yang aku pahami tentang ikhsan. "Sepemahamanku, memang ihsan artinya berbuat baik. Segala perbutan baik itu adalah ihsan. Berbuat baik itu ada dua, kepada sesama manusia dan kepada Allah. Yang aku ingin tekankan pada dasarnya dalam hubungan kepada Allah, hubungan yang tidak dapat dilihat manusia secara kasat mata. Jadi ikhsan kepada Allah itu melakukan segala kebaikan, termasuk ibadah, dengan perasaan seperti kita melihat Allah, atau minimal kita sadar betul bahwa Allah melihat kita."
Lagi-lagi dia mengangguk beberapa kali sebagai respon. Kuharap anggukannya itu berarti dia benar-benar paham. Tapi apalah dayaku kalau tidak. Ah, sudahlah biarkan Allah yang membolak-balikkan hati memberinya hidayah.
"Jadi, lanjut pertanyaan kedua?" tanyaku lagi yang ditanggapinya dengan anggukan antusias. "Pertanyaan kedua adalah tentang rukun Islam dan rukun Iman. Sebutkan dan jelaskan apa itu." Tampak dia mencatat pertanyaan dalam memori. Ingin kusarankan untuk mencatatnya di smarphone tapi ku urung menyampaikan. Aku tidak ingin terkesan terlalu mengatur, mendesak, apalagi memaksa walaupun kadang kesan itu sangat kental dengan pembawaanku.
Masih sekitar satu jam lagi kereta yang kita tumpangi akan sampai Osaka, untuk kemudian esok dini hari kami harus melanjutkan perjalanan ke bandara dan terbang menuju Indonesia. Ah, aku rindu rumah. Rindu keluarga. Tak sabar bertemu mereka. Dan kali ini aku pulang membawa seorang lelaki. Hmmm.... Tak bisa dipungkiri, harapan itu serasa begitu dekat. Astaghfirullahaladzim, segera kutepis pikiran-pikiran itu karena aku tak mau banyak berharap. Dzikirku rasanya tak henti untuk terus memohon perlindungan dari Allah dan memohon yang terbaik.
(bersambung ke [Cerita dan Tarian] IV )
No comments:
Post a Comment