Sebuah percakapan singkat kembali mengingatkanku tentang tujuan hidup.
Kurang lebih begitulah kesimpulan dari percakapanku dengan seorang kawan sebut saja namanya Wati. Setelah dulu ia menohokku dengan Itqon, kali ini kembali menohokku dengan "Visi".
Di saat yang bersamaan aku juga terlibat bercakapan dengan kawan lain, sebut saja namanya Asih, tentang 'kebosanan'. Kupikir sudah banyak kali aku nyampah di blog tentang bosan berkepanjangan yang belum lama ini aku lepas darinya. Salah satu postingan paling geje karena bosan di sini.
Apa hubungannya antara kebosanan dengan Visi?
Secara sederhana aku menyimpulkan jika kita sudah mulai bosan terhadap sesuatu, bisa jadi kita sudah terlalu lama berdiam diri dan tidak bergerak menuju tujuan atau Visi kita. Setidaknya aku mengibaratkan hidup kita seperti air. Dan visi itu adalah muaranya. Misi adalah saluran yang akan ditempuh oleh sang air.
Kalau kita sudah mulai bosan, bisa jadi kita yang kalau diibaratkan seperti air sudah terlalu lama tidak bergerak atau dengan kata lain kita mulai seperti air yang menggenang. Kalau dibiarkan lebih lama lagi mungkin lama-lama akan menjadi jenuh dan payau. Tentu saja air payau tidak sesehat air mengalir.
Saat kita mulai bosan itu, biasanya sepaket dengan galau, gundah gulana bahkan merasa disorientasi, merasa tak punya arah hidup yang jelas. Parahnya lagi, saat bosan ini biasanya disertai rasa malas-malasan dan akhirnya produktifitas menurun. Produktifitas yang menurun biasanya semakin membuat down semangat. Akibatnya, yang sudah males-malesan tambah males-malesan lagi.
Mungkin itulah saat kita sudah benar-benar di titik jenuh terbawah. Itulah yang kualami beberapa bulan lalu. Merasa hidup tidak berguna dan tidak produktif.
Waktu itu senjataku hanyalah doa. Saat itu berusaha introspeksi diri. Berusaha mendekatkan diri lagi kepada Sang Pemilik Waktu. Yang Maha Membolak balikkan hati. Hingga akhirnya aku mulai lagi satu langkah yang saat itu aku juga tidak tahu apakah langkah yang kuambil adalah langkah yang benar. Tapi aku tidak peduli. Fokusku hanyalah bagaimana caranya mulai kembali melangkah, keluar dari kubangan kebosanan yang agaknya mulai berpenyakit.
InsyaAlloh sekarang aku baru saja keluar dari kubangan itu. Namun setelah euforia kebahagiaan selama beberapa waktu, aku sadar, aku tak tahu kubangan apa yang menantiku di depan. Apakah kubangan itu akan membuatku menggenang menjadi seperti genangan sebelumnya? Namun kesadaran itu masih begitu abstrak.
Ke-abstrak-an kesadaran itu kemudian Alloh perjelas melalui perbincangan dengan Wati tadi. Ya. Kurasa aku harus kembali menata ulang hidupku dari sekarang. Di saat aku sedang 'mengalir' aku harus segera menyiapkan 'saluran' untuk menuntunku kembali ke visi. Sehingga setiap ada kubangan aku akan punya banyak amunisi pertahanan yang harapannya bisa menjadi sarana penyelamatan diri.
Perbincangan apa sih?
Klise sebenarnya. Sekali lagi secara semena-mena aku menyimpulkan, "bagaimana hidupku bisa berguna untuk Indonesia."
Sudah hampir sebulan aku berada di negeri impian. Negeri yang telah menjadi salah satu impianku sejak 8 tahun silam yang akhirnya Alloh wujudkan. 8 tahun mungkin bukan waktu yang singkat untuk sebuah mimpi. Tapi mungkin itulah skenario Alloh. Ketika aku sampai di sini, begitu banyak hikmah kehidapan kudapat yang mungkin tidak akan kusadari oleh aku yang dulu yang masih sangat-sangat mentah. Yah meskipun sekarang juga masih mentah sih. Paling tidak tidak sementah beberapa tahun dulu laah...
Jujur aku iri dengan Jepang. Dari awal aku ingin ke Jepang memang karena iri. Tapi ke-iri-an itu semakin membuncah setelah aku melihatnya langsung. Aku iri dengan budaya jujur di Jepang. Aku iri dengan budaya saling menghormati orang-orang Jepang. Aku iri dengan perkembangan teknologi Jepang. Aku iri dengan infrastruktur dan sistem yang diterapkan di Jepang termasuk sistem pendidikan. Aku iri...... ah banyak sekali hal yang akhirnya membuatku semakin miris kalau melihat kondisi di tanah air yang........... ah sudahlah.
Tapi aku cinta.... aku cinta tanah kelahiranku. Aku berharap aku tidak akan mengkhianatinya. Aku ingin berbuat sesuatu untuknya entah apa pun itu demi masyakarat Indonesia yang lebih baik. Kedengaran mungkin klise ya. Tapi begitulah. Sedih sekali meilhat paradoks Jepang-Indonesia. Tapi omong kosong saja kalau sedih sekedSo, hanya Alloh yang tahu pasti tentang masa depan. Namun setidaknya bisa mencoba kembali memancangkan visi untuk Indonesia yang lebih baik.
ar sedih kan?
Aku bukan politisi. Aku bukan pendidik. Juga bukan siapa pun. Namun aku masih punya KTP WNI yang secara administrasi mengikatku di NKRI dan aku darah Jawa yang begitu kental mengikatku begitu kuat di tanah kelahiran.
Semoga ini bukan hanya euforia homesick sesaat.
Siapa pun yang baca ini, mohon doakan agar ilmu yang kudapat
dari Jepang atau dari mana pun ini berkah dan bisa bermanfaat
untuk kemajuan Indonesia yang bermartabat.
Aamiin....
"Aku mau menata ulang hidupku. Cita-cita ku. Janjiku."
Kurang lebih begitulah kesimpulan dari percakapanku dengan seorang kawan sebut saja namanya Wati. Setelah dulu ia menohokku dengan Itqon, kali ini kembali menohokku dengan "Visi".
Di saat yang bersamaan aku juga terlibat bercakapan dengan kawan lain, sebut saja namanya Asih, tentang 'kebosanan'. Kupikir sudah banyak kali aku nyampah di blog tentang bosan berkepanjangan yang belum lama ini aku lepas darinya. Salah satu postingan paling geje karena bosan di sini.
Apa hubungannya antara kebosanan dengan Visi?
Secara sederhana aku menyimpulkan jika kita sudah mulai bosan terhadap sesuatu, bisa jadi kita sudah terlalu lama berdiam diri dan tidak bergerak menuju tujuan atau Visi kita. Setidaknya aku mengibaratkan hidup kita seperti air. Dan visi itu adalah muaranya. Misi adalah saluran yang akan ditempuh oleh sang air.
Kalau kita sudah mulai bosan, bisa jadi kita yang kalau diibaratkan seperti air sudah terlalu lama tidak bergerak atau dengan kata lain kita mulai seperti air yang menggenang. Kalau dibiarkan lebih lama lagi mungkin lama-lama akan menjadi jenuh dan payau. Tentu saja air payau tidak sesehat air mengalir.
Saat kita mulai bosan itu, biasanya sepaket dengan galau, gundah gulana bahkan merasa disorientasi, merasa tak punya arah hidup yang jelas. Parahnya lagi, saat bosan ini biasanya disertai rasa malas-malasan dan akhirnya produktifitas menurun. Produktifitas yang menurun biasanya semakin membuat down semangat. Akibatnya, yang sudah males-malesan tambah males-malesan lagi.
Mungkin itulah saat kita sudah benar-benar di titik jenuh terbawah. Itulah yang kualami beberapa bulan lalu. Merasa hidup tidak berguna dan tidak produktif.
Waktu itu senjataku hanyalah doa. Saat itu berusaha introspeksi diri. Berusaha mendekatkan diri lagi kepada Sang Pemilik Waktu. Yang Maha Membolak balikkan hati. Hingga akhirnya aku mulai lagi satu langkah yang saat itu aku juga tidak tahu apakah langkah yang kuambil adalah langkah yang benar. Tapi aku tidak peduli. Fokusku hanyalah bagaimana caranya mulai kembali melangkah, keluar dari kubangan kebosanan yang agaknya mulai berpenyakit.
InsyaAlloh sekarang aku baru saja keluar dari kubangan itu. Namun setelah euforia kebahagiaan selama beberapa waktu, aku sadar, aku tak tahu kubangan apa yang menantiku di depan. Apakah kubangan itu akan membuatku menggenang menjadi seperti genangan sebelumnya? Namun kesadaran itu masih begitu abstrak.
Ke-abstrak-an kesadaran itu kemudian Alloh perjelas melalui perbincangan dengan Wati tadi. Ya. Kurasa aku harus kembali menata ulang hidupku dari sekarang. Di saat aku sedang 'mengalir' aku harus segera menyiapkan 'saluran' untuk menuntunku kembali ke visi. Sehingga setiap ada kubangan aku akan punya banyak amunisi pertahanan yang harapannya bisa menjadi sarana penyelamatan diri.
Perbincangan apa sih?
Klise sebenarnya. Sekali lagi secara semena-mena aku menyimpulkan, "bagaimana hidupku bisa berguna untuk Indonesia."
Sudah hampir sebulan aku berada di negeri impian. Negeri yang telah menjadi salah satu impianku sejak 8 tahun silam yang akhirnya Alloh wujudkan. 8 tahun mungkin bukan waktu yang singkat untuk sebuah mimpi. Tapi mungkin itulah skenario Alloh. Ketika aku sampai di sini, begitu banyak hikmah kehidapan kudapat yang mungkin tidak akan kusadari oleh aku yang dulu yang masih sangat-sangat mentah. Yah meskipun sekarang juga masih mentah sih. Paling tidak tidak sementah beberapa tahun dulu laah...
Jujur aku iri dengan Jepang. Dari awal aku ingin ke Jepang memang karena iri. Tapi ke-iri-an itu semakin membuncah setelah aku melihatnya langsung. Aku iri dengan budaya jujur di Jepang. Aku iri dengan budaya saling menghormati orang-orang Jepang. Aku iri dengan perkembangan teknologi Jepang. Aku iri dengan infrastruktur dan sistem yang diterapkan di Jepang termasuk sistem pendidikan. Aku iri...... ah banyak sekali hal yang akhirnya membuatku semakin miris kalau melihat kondisi di tanah air yang........... ah sudahlah.
Tapi aku cinta.... aku cinta tanah kelahiranku. Aku berharap aku tidak akan mengkhianatinya. Aku ingin berbuat sesuatu untuknya entah apa pun itu demi masyakarat Indonesia yang lebih baik. Kedengaran mungkin klise ya. Tapi begitulah. Sedih sekali meilhat paradoks Jepang-Indonesia. Tapi omong kosong saja kalau sedih sekedSo, hanya Alloh yang tahu pasti tentang masa depan. Namun setidaknya bisa mencoba kembali memancangkan visi untuk Indonesia yang lebih baik.
ar sedih kan?
Aku bukan politisi. Aku bukan pendidik. Juga bukan siapa pun. Namun aku masih punya KTP WNI yang secara administrasi mengikatku di NKRI dan aku darah Jawa yang begitu kental mengikatku begitu kuat di tanah kelahiran.
Semoga ini bukan hanya euforia homesick sesaat.
Siapa pun yang baca ini, mohon doakan agar ilmu yang kudapat
dari Jepang atau dari mana pun ini berkah dan bisa bermanfaat
untuk kemajuan Indonesia yang bermartabat.
Aamiin....
No comments:
Post a Comment