Masih ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki ke calon SMA saat pendaftaran. Masih mengenakan seragam SMP, aku melewati lorong koridor gedung utama sekolah lantai 1 yang penuh lemari piala di sisi kanan dan kiri. Hingga akhirnya aku dinyatakan lolos masuk ke SMA itu, aku pernah ber-azzam untuk menyumbangkan minimal 1 piala untuk almamaterku. Tahun berganti tahun masa SMA yang penuh warna kulewati hingga tak terasa hampir usai masaku di SMA dan aku sadar belum ada satu pun piala yang kusumbangkan untuk sekolah. Bahkan hingga lulus. Akhirnya aku harus cukup menelan ludah mengingat ketidakmampuan diri memenuhi azzam yang dibuat sendiri.
Fase berikutnya di bangku kuliah. Meskipun bukan perguruan tinggi yang favorit, tapi sejauh yang kuingat, tidak pernah ada penyesalan aku pernah kuliah di sana. Pertama menghirup udara kampus, lagi-lagi aku ber-azzam hal yang sama ketika aku pertama masuk SMA. Ya, aku ingin mengukir prestasi yang membanggakan untuk almamaterku. Dan lagi-lagi tak terasa usai sudah masa studiku di kampus itu dan lagi-lagi tanpa memenuhi azzamku.
Kemudian tahun-tahun pasca kuliah, dunia kerja menjadi pos utama kehidupan padahal sebelumnya tidak terbayang bakal menjadi wanita karir. Dalam bayanganku sebelumnya, hanya institusi pendidikan yang terus menjadi pos utama kehidupanku selain pos keluarga dan tetangga. Tapi begitulah kenyataannya, pos pekerjaan menjadi duniaku saat ini. Namun pertama kali masuk ke dunia kerja, idealismeku tidak se-yakin dulu ketika pertama kali masuk SMA maupun kuliah. Pertama kerja, aku tak memiliki azzam apapun untuk kantorku.
Seiring berjalannya waktu, hati nurani mulai kembali terusik. Kenapa mudah sekali mengingkari azzam. Bukankah seharusnya ada dorongan untuk mewujudkannya?
Kata orang, masa transisi. Masa ketika orang beranjak dari dunia remaja ke dunia orang dewasa. Pada masa transisi ini banyak sekalituntutan pertanyaan hidup yang harus dijawab. Entah tuntutan pertanyaan dari diri sendiri maupun dari orang lain. Alhamdulillah, cukup bersyukur aku tidak harus tertekan dengan tuntutan pertanyaan dari luar, seperti "kapan nikah?" "kapan kerja?" "Kapan S2?" mungkin. Karena emang udah kerja, jadi pertanyaan itu cukup mudah dijawab meskipun anak pinak dari pertanyaan itu tetap saja ada. Tentang kapan nikah, sejauh ini sih masih cukup nyaman dengan jawaban "Yo nek wis jatahe lak yo nikah. Dongane wae mugo-mugo ndang diparingi yang terbaik" yang kurang lebih translatenya Ya kalau sudah saatnya ya pasti nikah. Do'anya saja semoga segera diberikan yang terbaik. Jawaban yang cukup absurd tapi cukup lah untuk melegakan bagi yang bertanya. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang alhamdulillah sejauh ini tidak sampai membuat tertekan.
Tapi dari sekian pertanyaan ada pertanyaan dari dalam diri yang sungguh mengusik dan cukup mengiris hati.
Apa yang sudah kulakukan untuk membantu saudara-saudara dan sahabat-sahabatku yang selalu memberi warna keceriaan dalam kehidupan?
Apa yang bisa kutinggalkan untuk almamaterku?
Apa yang masih bisa diingat dari guru-guruku, dosen-dosen atau para ustadz/ah yang selama ini menjadi mediator ilmuku? Apakah di antara beliau ada yang masih mengingatku sebagai muridnya? bahkan aku termasuk kategori murid yang so ordinary.
Sedikit lebih berat, apa yang sudah kusumbangkan kepada negeri yang banyak dilimpahi segala sumber daya alam dan potensi yang luar biasa ini untuk menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, untuk menjadi negeri yang subur dan makmur, adil dan aman?
Hingga pada akhirnya sampai ke pertanyaan Apa yang sudah kuberikan untuk umat dan penegakan agama ini?
Hanya bergabung dengan sebuah jamaah dakwah tak lantas membuatku mudah menjawab pertanyaan terakhir itu. Justru dengan bergabungnya aku dengan jamaah dakwah, semakin jelaslah menunjukkan bahwa memang belum ada seujung kuku-pun sudah kulakukan untuk umat dan agama ini. Jangankan untuk umat dan agama, mundur ke belakang lagi, aku bahkan belum bisa memenuhi azzamku untuk memberikan kenangan nyata untuk almamaterku.
Begitu mudah mulut berucap, begitu mudah hati berniat, tapi tanggungjawab selalu ada dari setiap ucapan dan niat. Padahal konon setiap apa yang kita ucapkan dan perbuat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Fiuh....Subhanallah.... galau bener dah kalau udah inget itu. Rasanya jadi seperti seonggok cucian kotor tak berguna dipojokan kamar saja. Glundang-glundung tak berguna. Hanya bisa berdoa agar paling tidak, semoga sedikit hal yang telah kulakukan selama ini mendapat ridho Alloh dan berikhtiar/berusaha untuk dapat selalu lebih baik dalam segala hal dan mewujudkan setiap mimpi yang sudah kubuat sendiri.
Pada akhirnya aku 'hanya' tidak ingin hidupku berjalan flat. Cuma makan-tidur-sekolah-menikah-bekerja-beranak-kemudian mati. Aku ingin mati dalam sebaik-baik iman, dalam sebaik-baik amal yang pernah aku perbuat, dan dalam kondisi sudah memberi sebaik-baik prestasi dan manfaat untuk orang lain. Itu mungkin terdengar utopis tapi ya begitulah, ternyata aku belum kapok untuk berazzam. Entah apa jadinya akhirnya nanti. Apakah akan berakhir seperti azzamku untuk almamaterku atau pada akhirnya aku bisa mati dengan tenang dengan keberhasilanku menjawab semua mimpi dan pertanyaan dari diriku secara outstanding, setidaknya aku hanya harus kembali berniat dan berusaha do the best I can do.
Semoga Alloh subhanahu wata'ala berkenan mengabulkan cita-citaku untuk mati dalam keadaan sebaik-baik iman, sebaik-baik amal, dan dalam kondisi sudah memberi sebaik-baik prestasi dan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Fase berikutnya di bangku kuliah. Meskipun bukan perguruan tinggi yang favorit, tapi sejauh yang kuingat, tidak pernah ada penyesalan aku pernah kuliah di sana. Pertama menghirup udara kampus, lagi-lagi aku ber-azzam hal yang sama ketika aku pertama masuk SMA. Ya, aku ingin mengukir prestasi yang membanggakan untuk almamaterku. Dan lagi-lagi tak terasa usai sudah masa studiku di kampus itu dan lagi-lagi tanpa memenuhi azzamku.
Kemudian tahun-tahun pasca kuliah, dunia kerja menjadi pos utama kehidupan padahal sebelumnya tidak terbayang bakal menjadi wanita karir. Dalam bayanganku sebelumnya, hanya institusi pendidikan yang terus menjadi pos utama kehidupanku selain pos keluarga dan tetangga. Tapi begitulah kenyataannya, pos pekerjaan menjadi duniaku saat ini. Namun pertama kali masuk ke dunia kerja, idealismeku tidak se-yakin dulu ketika pertama kali masuk SMA maupun kuliah. Pertama kerja, aku tak memiliki azzam apapun untuk kantorku.
Seiring berjalannya waktu, hati nurani mulai kembali terusik. Kenapa mudah sekali mengingkari azzam. Bukankah seharusnya ada dorongan untuk mewujudkannya?
Kata orang, masa transisi. Masa ketika orang beranjak dari dunia remaja ke dunia orang dewasa. Pada masa transisi ini banyak sekali
Tapi dari sekian pertanyaan ada pertanyaan dari dalam diri yang sungguh mengusik dan cukup mengiris hati.
Memang apa saja yang sudah kulakukan sampai saat ini?Apa yang sudah kuberikan untuk membahagiakan orang tuaku?
Apa yang sudah kulakukan untuk membantu saudara-saudara dan sahabat-sahabatku yang selalu memberi warna keceriaan dalam kehidupan?
Apa yang bisa kutinggalkan untuk almamaterku?
Apa yang masih bisa diingat dari guru-guruku, dosen-dosen atau para ustadz/ah yang selama ini menjadi mediator ilmuku? Apakah di antara beliau ada yang masih mengingatku sebagai muridnya? bahkan aku termasuk kategori murid yang so ordinary.
Sedikit lebih berat, apa yang sudah kusumbangkan kepada negeri yang banyak dilimpahi segala sumber daya alam dan potensi yang luar biasa ini untuk menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, untuk menjadi negeri yang subur dan makmur, adil dan aman?
Hingga pada akhirnya sampai ke pertanyaan Apa yang sudah kuberikan untuk umat dan penegakan agama ini?
Hanya bergabung dengan sebuah jamaah dakwah tak lantas membuatku mudah menjawab pertanyaan terakhir itu. Justru dengan bergabungnya aku dengan jamaah dakwah, semakin jelaslah menunjukkan bahwa memang belum ada seujung kuku-pun sudah kulakukan untuk umat dan agama ini. Jangankan untuk umat dan agama, mundur ke belakang lagi, aku bahkan belum bisa memenuhi azzamku untuk memberikan kenangan nyata untuk almamaterku.
Begitu mudah mulut berucap, begitu mudah hati berniat, tapi tanggungjawab selalu ada dari setiap ucapan dan niat. Padahal konon setiap apa yang kita ucapkan dan perbuat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Fiuh....Subhanallah.... galau bener dah kalau udah inget itu. Rasanya jadi seperti seonggok cucian kotor tak berguna dipojokan kamar saja. Glundang-glundung tak berguna. Hanya bisa berdoa agar paling tidak, semoga sedikit hal yang telah kulakukan selama ini mendapat ridho Alloh dan berikhtiar/berusaha untuk dapat selalu lebih baik dalam segala hal dan mewujudkan setiap mimpi yang sudah kubuat sendiri.
Pada akhirnya aku 'hanya' tidak ingin hidupku berjalan flat. Cuma makan-tidur-sekolah-menikah-bekerja-beranak-kemudian mati. Aku ingin mati dalam sebaik-baik iman, dalam sebaik-baik amal yang pernah aku perbuat, dan dalam kondisi sudah memberi sebaik-baik prestasi dan manfaat untuk orang lain. Itu mungkin terdengar utopis tapi ya begitulah, ternyata aku belum kapok untuk berazzam. Entah apa jadinya akhirnya nanti. Apakah akan berakhir seperti azzamku untuk almamaterku atau pada akhirnya aku bisa mati dengan tenang dengan keberhasilanku menjawab semua mimpi dan pertanyaan dari diriku secara outstanding, setidaknya aku hanya harus kembali berniat dan berusaha do the best I can do.
Semoga Alloh subhanahu wata'ala berkenan mengabulkan cita-citaku untuk mati dalam keadaan sebaik-baik iman, sebaik-baik amal, dan dalam kondisi sudah memberi sebaik-baik prestasi dan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Yogyakarta, 27 April 2014
Catatan galau yang semoga bisa mengenyahkan malas yang sering menggelayuti
Go Get Dreams Come True
No comments:
Post a Comment