Friday, August 26, 2022

Umroh Patah Hati (Part 1)


Prolog

Sebut saja namanya Mawar, gadis berusia 26 tahun yang bercita-cita nikah muda yang tak kunjung menemukan/ditemukan tambatan hatinya. Sejak SMA Mawar sudah aktiv di organisasi keislaman dan sudah sangat 'teracuni' dengan konsep nikah muda. Salah satu model yang menjadi salah satu motivasi terbesarnya adalah ibu sahabatnya. Ibu dari sahabat Mawar ini menikah di usia 21 dan miliki 5 orang anak. Kita sebut saja ibu Dewi. Di mata Mawar, ibu Dewi adalah sosok bidadari dalam bentuk manusia dan idaman semua anak seumuran Mawar. Pada saat itu, belum populer ilmu-ilmu parenting masa kini yang mengharamkan tindak 'kekerasan' verbal, visual, maupun mental. Tentu saja Mawar sangat mencintai ibunya, tapi semakin sering Mawar menginap di rumah sahabatnya dan melihat bagaimana ibu Dewi bersikap dan mendidik anak-anaknya, tak ayal membuat Mawar terkadang membandingkan bagaimana ibunya bersikap kepadanya dan adik-adiknya.

Tapi kita tidak akan membicarakan soal bagaimana ibu-ibu itu mendidik anak-anaknya. Intinya, semakin mengamati ibu Dewi, diam-diam Mawar mengidolakannya dan ingin mengikuti jejaknya untuk menikah di usia muda. Tentu saja wacana nikah muda juga didukung dengan lingkaran pertemanan dan kegiatannya yang memang membuat Mawar tak tertarik untuk menjalin hubungan asmara atau sekedar hubungan yang melibatkan rasa. Idealismenya kukuh, tidak ada pacaran (apa pun bentuknya) sebelum menikah, perlahan tapi pasti membentuk benteng kokoh di hati yang tampaknya tak tertembus. 

Wednesday, August 3, 2022

Menuju Tahun Ketiga

Salzburg, 2022

"Why are you crying?" tanyanya panik melihat air mataku yang meleleh begitu saja.

Aku membiarkannya memelukku untuk menenangkanku yang semakin sesenggukan. Meskipun panik, ia sabar tak memberondong pertanyaan alih-alih menungguku menjawab setelah tenang. Salju di luar pun nampaknya sehati dengannya, seolah menanti jawabku.

Kubalas pelukannya sesaat kemudian. "I am very grateful for what Allah has given to me. You ... are more than what I want and need. You are the answer to my prayers. Only that Allah gave me more than what I have ever expected," kataku akhirnya. "And I couldn't hold my tears ... because of happiness and gratefulness."

Salju di luar mulai turun seiring dengan semakin erat pelukannya menambah syahdu malam itu. Baru satu pekan usia pernikahan kami saat itu. Pernikahan yang kami putuskan dalam sekejap mata seolah tanpa pikir panjang. Meskipun hampir satu tahun kenal dan berteman, tak ada kisah romantis sebelumnya hingga ia beranikan melamar langsung ke bapak, sekitar sepekan sebelum tiba-tiba menikah. Lamaran cowboy yang harus kuterjemahkan sendiri dari seorang 'kawan' dengan kaos oblong dan celana pendek kepada wali atas hidupku saat itu, sang bapak. 

Banyak percakapan, diskusi, dan curahan hati selama kami berkawan yang akhirnya mengarah ke perbincangan serius tentang kemungkinan mengarungi masa depan bersama. Seperti umumnya orang barat yang tidak betul-betul meyakini agama, awalnya pernikahan bukan menjadi prioritas hidupnya.  Sementara itu aku yang memilih nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup, memandang pernikahan adalah salah satu tujuan hidup (kalau bisa).  Meskipun tak menisbatkan diri pada aturan agama tertentu, ada nilai-nilai yang dia pegang dalam hidup diantaranya menjadi manusia yang bermanfaat dan tidak merugikan manusia lain maupun lingkungan. Prinsip hidup yang pada dasarnya sejalan pula dengan nilai-nilai Islam yang kupegang. Namun, memilih Islam berarti memilih untuk taat dengan aturan yang ditetapkan Allah sesuai Al-Qur'an dan sunnah.