Tuesday, February 13, 2018

Bingung

Ini cerita tentang aku dan dia. Dia yang sering membuatku bingung. Dia yang selalu berhasil membuatku menangis sekaligus menenangkanku ketika emosi sedang meledak-ledak. Dia yang akhirnya harus kuakui bahwa aku menyayanginya. Namanya yang selalu tersebut dalam doaku bersanding dengan nama saudara-saudara kandung dan orang tuaku. 

Karenanya, untuk pertama kali kurasakan rasa yang berupa-rupa dalam satu waktu. 

Karenanya, untuk pertama kali temanku mengomentariku bahwa aku “telah buta”.

Karenanya pun, tanpa kusadari ku ‘tlah menyakiti diri. 


Karena, tak kusangka rasa ini datang sebelum saatnya. Sungguh di luar perkiraan. Kupikir tak kan pernah kurasakan gejolak seperti ini kecuali hanya kepada suamiku kelak. Apakah ini jawaban atas doaku agar aku jatuh cinta pada orang yang akan menjadi suamiku sejak pertama aku berjumpa? Atau aku hanya ge-er saja, bukannya jawaban doa tapi pada dasarnya aku saja yang belum bisa menjaga hati? 


Tarik ulur. Itu yang kulakukan sekarang. Harus kuakui, sungguh aku bahagia berada di dekatnya. Aku bahagia ketika ia membutuhkanku. Dan lebih bahagia lagi jika dia tersenyum tulus kepadaku. Meskipun hal yang terakhir itu seperti mengharap mimpi jadi kenyataan. Namun, aku tahu, aku sadar diri aku tak akan kuat menahan rasa ketika berada terlalu dekat dengannya.


Maka pada saat itu, ku memilih mundur. Mencoba menarik diri darinya. Tapi nyatanya, ku tak sekuat yang kukira. Selalu saja ku gagal dan akhirnya mencari-cari alasan agar bisa menghubunginya.


Ketika akhirnya jarak kami kembali memendek, ku pun kembali sadar bahwa ini terlalu berbahaya bagiku. Semakin kurasakan ketergantunganku padanya. Lelaki itu, sudah setahun lebih lamanya telah menyita perhatianku. Sakit hatiah ketika ternyata kenyataan tak sesuai harapan. Ya aku tahu, itu lah konsekuensinya jika menaruh harap pada makhluk. 


Akhirnya kembali kuberdoa agar aku dipalingkan darinya baik rasa maupun jarak, psikis maupun fisik. Namun nampaknya ada bagian lain dari diri ini yg tak rela. Akhirnya doa pun tidak konsisten.  Aku pun bingung. Bingung harus bagaimana. Bahkan bingung harus berdoa bagaimana lagi. 


Hingga akhirnya kumenyerah. Menyerah pada hati. Kumohonkan penjagaan terbaik untuknya, hidayah untuknya, kebahagiaannya untuknya, dan tentunya juga untukku. Kupercayakan semuanya pada Allah semata. 



Friday, February 9, 2018

Omong Kosong tentang Harga Diri *coret*Lelaki*coret*

"Jangan bantu aku. Aku bisa sendiri. Aku tidak sebodoh itu."

Terkejut kami mendapat pesan dari salah satu teman kita. Tak berapa lama kemudian dia mulai mengetik pesan yang tak kalah mengejutkan. Dia menyebutkan kembali kalimat yang muasalnya hanyalah guyonan dan tak ada niatan sama sekali. Mungkin kami kurang mengenal baik karakter teman kami itu. Aku bahkan menangis dibuatnya. Sungguh aku tak habis pikir kok bisa-bisanya dia berpikir begitu. Kalau aku adalah Cinta, sudah kukatan pada Rangga bahwa "Yang kamu lakukan ke aku itu... jahat".

Tapi kucoba mengerti dan memahami. Saat sedang sesenggukan sendiri, masuklah sebuah pesan dari teman,

"Biarkan dulu dia sendiri. Sepertinya sekarang dia sedang memikirkan harga dirinya yang terkoyak. Membantunya hanya akan menodai harga dirinya. Lebih dari itu, ia adalah seorang lelaki."

)*&*&^!!!!!!!
Sebenanya pesan serupa sudah disampaikan oleh teman yang lain. Tapi waktu itu yang menyampaikan perempuan, kali ini teman laki-laki. Dalam hal ini mungkin dia lebih memahami perihal harga-diri-yang-terkoyak ini. Tak mau berdebat, pesan itu hanya kujawab,

"Got it." Oke! Fine. Jadi duduk permasalahannya adalah tentang harga diri. Baiklah.

Tapi kalau boleh jujur, aku punya pendapat tentang harga diri. Wahai para penggila harga diri, kalau kau percaya Allah, kupikir kalian pun tahu sebenarnya Allah lah yang Maha tahu baik dan buruknya kita. Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti punya aib. Orang yang terkenal baik dan sangat dicintai dan dihormati orang banyak, itu karena Allah MENUTUP AIB dia. Kalau Allah sudah berkendak membuka aibnya, apa daya orang itu?

Perlakuan orang terhadap diri kita, bisa jadi itu lah cerminan atas akhlaq kita. Tentu kita punya kewajiban menutup aib kita dan orang lain. Tapi apa daya jika ternyata aib kita tebongkar lewat orang lain. Marah? Lalu merasa harga diri kita ternodai? Hello....tunggu dulu!!! Lihat dengan mata hati dan pikiran jenih. Kalau ternyata yang dikatakan orang lain tentang keburukan kita itu benar, mungkin itu cara Allah memperingatkan kita. Kalau lah itu tidak benar, ya sudah, cukup klarifikasi tanpa emosi. Kalau klarifikasi tidak menyelesaikan masalah, ya sudah, abaikan. Untuk apa buang-buang waktu untuk hal yang kau tau tidak benar. Jadi tak ada gunanya juga sibuk marah-marah tentang harga-diri-yang-ternoda. Entahlah, bagi seorang lelaki mungkin it's big deal. Tapi apa salahnya berpikir logis seperti ini.

Oke, mungkin sebagai wanita, aku pun tak berhak maksa-maksa lelaki untuk berpikir logis tentang 'harga-diri'nya karena kami pun lebih jauh dari dunia logika, kami lebih perasa. Dan kadang gara-gara rasa ini, mungkin membuat para pria ternoda harga dirinya.

Baiklah, untuk lebih adilnya, mari sama-sama belajar dan terus memperbaiki diri.

Allah lah yang Maha Mengatur.