Ini cerita tentang aku dan dia. Dia yang sering membuatku bingung. Dia yang selalu berhasil membuatku menangis sekaligus menenangkanku ketika emosi sedang meledak-ledak. Dia yang akhirnya harus kuakui bahwa aku menyayanginya. Namanya yang selalu tersebut dalam doaku bersanding dengan nama saudara-saudara kandung dan orang tuaku.
Karenanya, untuk pertama kali kurasakan rasa yang berupa-rupa dalam satu waktu.
Karenanya, untuk pertama kali temanku mengomentariku bahwa aku “telah buta”.
Karenanya pun, tanpa kusadari ku ‘tlah menyakiti diri.
Karena, tak kusangka rasa ini datang sebelum saatnya. Sungguh di luar perkiraan. Kupikir tak kan pernah kurasakan gejolak seperti ini kecuali hanya kepada suamiku kelak. Apakah ini jawaban atas doaku agar aku jatuh cinta pada orang yang akan menjadi suamiku sejak pertama aku berjumpa? Atau aku hanya ge-er saja, bukannya jawaban doa tapi pada dasarnya aku saja yang belum bisa menjaga hati?
Tarik ulur. Itu yang kulakukan sekarang. Harus kuakui, sungguh aku bahagia berada di dekatnya. Aku bahagia ketika ia membutuhkanku. Dan lebih bahagia lagi jika dia tersenyum tulus kepadaku. Meskipun hal yang terakhir itu seperti mengharap mimpi jadi kenyataan. Namun, aku tahu, aku sadar diri aku tak akan kuat menahan rasa ketika berada terlalu dekat dengannya.
Maka pada saat itu, ku memilih mundur. Mencoba menarik diri darinya. Tapi nyatanya, ku tak sekuat yang kukira. Selalu saja ku gagal dan akhirnya mencari-cari alasan agar bisa menghubunginya.
Ketika akhirnya jarak kami kembali memendek, ku pun kembali sadar bahwa ini terlalu berbahaya bagiku. Semakin kurasakan ketergantunganku padanya. Lelaki itu, sudah setahun lebih lamanya telah menyita perhatianku. Sakit hatiah ketika ternyata kenyataan tak sesuai harapan. Ya aku tahu, itu lah konsekuensinya jika menaruh harap pada makhluk.
Akhirnya kembali kuberdoa agar aku dipalingkan darinya baik rasa maupun jarak, psikis maupun fisik. Namun nampaknya ada bagian lain dari diri ini yg tak rela. Akhirnya doa pun tidak konsisten. Aku pun bingung. Bingung harus bagaimana. Bahkan bingung harus berdoa bagaimana lagi.
Hingga akhirnya kumenyerah. Menyerah pada hati. Kumohonkan penjagaan terbaik untuknya, hidayah untuknya, kebahagiaannya untuknya, dan tentunya juga untukku. Kupercayakan semuanya pada Allah semata.