Prolog
Sebut saja namanya Mawar, gadis berusia 26 tahun yang bercita-cita nikah muda yang tak kunjung menemukan/ditemukan tambatan hatinya. Sejak SMA Mawar sudah aktiv di organisasi keislaman dan sudah sangat 'teracuni' dengan konsep nikah muda. Salah satu model yang menjadi salah satu motivasi terbesarnya adalah ibu sahabatnya. Ibu dari sahabat Mawar ini menikah di usia 21 dan miliki 5 orang anak. Kita sebut saja ibu Dewi. Di mata Mawar, ibu Dewi adalah sosok bidadari dalam bentuk manusia dan idaman semua anak seumuran Mawar. Pada saat itu, belum populer ilmu-ilmu parenting masa kini yang mengharamkan tindak 'kekerasan' verbal, visual, maupun mental. Tentu saja Mawar sangat mencintai ibunya, tapi semakin sering Mawar menginap di rumah sahabatnya dan melihat bagaimana ibu Dewi bersikap dan mendidik anak-anaknya, tak ayal membuat Mawar terkadang membandingkan bagaimana ibunya bersikap kepadanya dan adik-adiknya.
Tapi kita tidak akan membicarakan soal bagaimana ibu-ibu itu mendidik anak-anaknya. Intinya, semakin mengamati ibu Dewi, diam-diam Mawar mengidolakannya dan ingin mengikuti jejaknya untuk menikah di usia muda. Tentu saja wacana nikah muda juga didukung dengan lingkaran pertemanan dan kegiatannya yang memang membuat Mawar tak tertarik untuk menjalin hubungan asmara atau sekedar hubungan yang melibatkan rasa. Idealismenya kukuh, tidak ada pacaran (apa pun bentuknya) sebelum menikah, perlahan tapi pasti membentuk benteng kokoh di hati yang tampaknya tak tertembus.
Mawar mudah sekali suka dengan seorang lelaki tetapi sekedar suka tak lama setelah itu lupa, kecuali seorang lelaki. Ia adalah seniornya di kampus. Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kampusnya, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang ternyata adalah seniornya di kampus. Hingga enam atau tujuh tahun berikutnya, nama lelaki itu tetap nangkring di urutan pertama jajaran calon pendamping hidup. Beruntung Mawar adalah seorang aktivis yang selalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan sehingga membuatnya sedikit tidak terlalu melow dan ngarep. Meskipun suka, tak ada yang dilakukan Mawar untuk mengutarakan atau sekedar memberi kode kepada sang pujaan hati tentang perasaannya. Paling mentok, ia bercerita dengan sahabat perempuan dari sang pujaan hati, yang tahu betul Mawar bukan lah 'selera' sang lelaki.
Karena kesibukan meraih mimpi, Mawar bersyukur ia tak mengalami patah hati mendengar pujaan hatinya selama tujuh tahun itu akhirnya menikah. Live still go on. Mawar melewati babak baru dalam hidupnya di negara yang selama ini diidam-idamkannya, Jepang.
Satu mimpi untuk bisa kuliah di Jepang tercapai. Namun mimpi utama ia sejak SMA yang telah terlambat beberapa tahun dari target belum kunjung tampak titik cerahnya. Sehingga keberangkatannya ke Jepang juga membawa misi terselubung untuk menemukan pasangan hidup.
"Katanya mau nikah. Kok malah kabur ke Jepang?" seloroh seorang kawan yang tahu betul obsesiku untuk menikah muda.
"Justru karena mau ketemu jodoh aku ke Jepang. Bumi Allah kan luas, mana tahu jodohku memang di sana," jawab Mawar santai. Jiwa muda dengan semangat ideologi masih sangat membara dalam diri gadis penuh energi itu.
Satu tahun berlalu....
Banyak hal baru yang membuat hidup Mawar semakin berwarna dan menantang. Naik turun tajam seperti roller coaster. Dalam satu waktu Mawar mengalami masa Honeymoon di lingkungan baru membuatnya selalu excited sekaligus di saat yang bersamaan mengalami tekanan batin. Kultur riset yang belum pernah ia kenal dan kesepian yang mendalam membuatnya menangis setiap malam. Praktis setahun pertama Mawar disibukkan dua rasa itu. Siang bahagia mengeksplorasi dunia, malam tersedu mengiba.
Hingga pada suatu hari di bulan Ramadan, ia bertemu seorang lelaki muda, sebut saja namanya Kumbang. Eh, jangan ding. Belalang saja. Ya, kita sebut saja lelaki itu Belalang. Nah saat itu Sang Belalang mendapat giliran menjadi imam sholat tarawih. "Aduhai, siapa ini orang baru yang jadi imam? Masih muda pula, sepertinya masih single. Boleh lah jadi imam hidup," khayal Mawar seketika.
Hampir satu tahun kemudian, karena kampus yang kecil dan komunitas muslim yang lebih kecil, membuat Mawar dan Belalang sering berinteraksi dan menjadi teman akrab selama dua bulan. Ya, hanya dua bulan yang tanpa disadari telah meluluh lantakkan benteng hati yang Mawar bangun selama ini. "Aduhai, rasa apakah ini?"
Setelah dua bulan intens berinteraksi, Mawar sadar ada yang tidak beres. Ia merasa telah melanggar prinsip hidupnya. Memang ia punya banyak teman lelaki, tapi tidak pernah seeintens itu berinteraksi. Tak mau berlarut-larut dalam ketidakpastian, Mawar mantap untuk mengkonfirmasi hubungannya dengan kawannya itu dan ternyata memang hanya kawan, tidak lebih. Ternyata kedekatan mereka selama dua bulan itu, yang bahkan sempat memicu gosip, memang tidak pernah dimaksudkan untuk status yang lebih dari teman.
"Baiklah," kata Mawar menerima setelah mendengar jawaban yang mengecewakan itu. Mulut menerima kenyataan, apa daya hati tak terima. Mawar baru sadar betapa lengah dia dua bulan itu. Dalam kesulitan berjibaku dengan kesepian dan beban riset, kedatangan seorang kawan seolah menjadi Oase. Sayangnya kawan itu datang dalam bentuk lelaki muslim yang seolah kebetulan, seolah menjadi sebuah jawab dari mimpi Mawar yang sudah bertahun-tahun tertunda. Menikah. "Oh Allah, apakah kau kirimkan ia sebagai imamku?" Tanpa sadar pikiran itu telah meracuni Mawar sejak pertama mulai berteman hingga tak terasa dua bulan lamanya hampir tiada hari tanpa saling sua.
Masih tak terima dengan kenyataan, rasanya untuk pertama kalinya dalam hidup, Mawar merasakan patah hati. Di saat kawan-kawan sebayanya sudah khatam dengan rasa itu sejak masa SMA atau awal kuliah, Mawar bahkan belum menyadari ketika rasa itu benar-benar mengampiri? Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan ketika menerima penolakan. Tak terima? iya, tapi mau bagaimana juga memangnya kalau tidak terima? Tak bisa juga rasa dipaksa-paksakan. Salah sendiri juga sudah ngarep. Secara teori, Mawar sangat paham bahwa kalau kita mulai berharap kepada manusia, siap-siap lah kecewa. Tapi tetap saja pada praktiknya ia melakukannya. Kecawa lah ia sekarang.
Tapi Allah Maha Pengsih dan Penyayang. Di saat hati babak belur, Allah menitipkan rezeki lebih untuk Mawar. Saat itu ia mendapatkan dua beasiswa di saat yang bersamaan. Seoalah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mawar ingin berangkat Haji tahun itu juga. Namun apa daya tidak ada biro haji Jepang yang menerimanya karena tidak adanya Mahrom. Tak mau menyerah, pokokknya Mawar ingin ke Baitullah. Akhirnya ia mendaftarkan diri untuk umroh berangkat dari Indonesia.
Tekad kuat Mawar untuk umroh, salah satunya dan tak salah lagi, adalah karena patah hati. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Riset yang sudah sejak awal terseok-seok dijalaninya, semakin mentok tak bisa berpikir mau apa. Masa bulan madu dengan Jepang pun sudah berlalu. Tak ada lagi exitement yang sama untuk eskplorasi hal-hal baru.
Singkat cerita, atas izin Allah, berangkatlah Mawar ke Makkah untuk ibadah Umroh. Sepanjang perjalanan, dzikirnya tak henti-henti sambil menata hati. Ia tak tahu pasti doa apa yang paling ingin dia panjatkan. Menikah? .... tentu saja. Tapi dengan siapa?..... Itu dia masalahnya. Masalahnya, Mawar masih belum rela dengan kenyataan cinta bertepuk sebelah tangan. Oops apa tadi? cinta? Apakah benar itu cinta?
Jadi, bagaimana Mawar selama sepekan rangkaian ibadah umroh? Apakah ia mengalami hal-hal yang di luar dugaan? Apa doa-doa yang akhirnya terus ia ulang-ulang? Dan yang paling penting, apakah ia akhirnya bisa menerima kenyataan pahit kasih tak sampai?
Bersambung... :D