Saturday, April 27, 2024

Mudahkan jangan Dipersulit

Baru saja membaca sebuah tulisan singkat di Facebook yang dibagikan oleh seorang sahabat. Tulisan itu menceritakan seorang habib yang berdakwah di sebuah desa di Afrika. Seorang kepala desa mengatakan mau masuk Islam tapi tidak mau salat. Tanpa mempersulit, Sang Habib pun membimbing Sang Kepala suku bersyahadat. Saat Eid, Sang Habib mengajak Kepala Suku untuk salat Eid karena ringan, hanya dua rakaat. Kemudian pada Hari Jumat, Sang Kepala Suku mulai diajak lagi, karena sama ringannya dengan salat Eid, hanya dua rakaat. Kemudian Sang Kepala Suku mulai menambah salat mulai dari Magrib dan terus menambah ibadah tanpa ada paksaan.

Entah bagaimana kebenaran cerita tersebut, aku mendapatinya masuk akal dan setuju dengan pesan yang disampaikan untuk tidak mempersulit orang masuk Islam dan mendapatkan hidayah. Kita manusia biasa yang tidak memiliki hak untuk menghakimi status spiritual seseorang. Apalagi dalam hal ini sangat mudah kita merasa mendapat hidayah lebih dulu kemudian merasa cukup 'senior' untuk mengajari tentang agama kepada mualaf atau orang yang baru 'hijrah'.

Bagiku, cerita itu memberi kesan yang lebih karena tepat seperti pengalaman pribadi. Aku dan suami adalah teman baik sebelum kami mulai ada rasa dan memutuskan untuk menikah. Saat itu, suami seperti pada umumnya pemuda Eropa masa kini, agama bukan lagi untuk diimani dan menikah hanyalah masalah administrasi dan keuntungan pajak. Sedangkan aku, dari kecil dibesarkan di lingkungan yang beragama dan sangat mensakralkan konstitusi pernikahan.  Sehingga jelas dari awal kami tak ada niatan untuk hubungan yang lebih dari teman.

Tuesday, March 28, 2023

Terima Kasih

Delapan tahun lalu
Di bawah naungan langit biru
Sakura mankai menyambut 
Merayakan delapan tahun 
Mimpi-mimpi yang menunggu
Menoreh kisah-kisah baru

Di negri sakura
Tempat jiwa muda itu bertumbuh dan mengelana
Merasa suka dan duka
Tempat hati hati pernah bersua
Namun pernah juga terluka

Luka yang menempa menguatkan
Jiwa-jiwa baru mengisi kehampaan
Menebar warna-warni kehidupan
Sungguh nikmat tuhanmu yang mana kah
yang kamu dustakan?

Terima kasihku untukmu
Jiwa-jiwa pengisi relung hidupku
Di negri yang kusebut rumah keduaku
Doaku bersamamu
Rahmat Allah selalu menyertaimu
Wahai sahabat-sahabatku

Sakura mankai
Kecantikannya mengikat hati
Kali ini mengantarku pergi
Menuju belahan jiwa yang t'lah menanti
Kuharap ku kan kembali
Suatu saat nanti
Jika Allah menghendaki


--
Pada suatu semi
Shofi





Friday, August 26, 2022

Umroh Patah Hati (Part 1)


Prolog

Sebut saja namanya Mawar, gadis berusia 26 tahun yang bercita-cita nikah muda yang tak kunjung menemukan/ditemukan tambatan hatinya. Sejak SMA Mawar sudah aktiv di organisasi keislaman dan sudah sangat 'teracuni' dengan konsep nikah muda. Salah satu model yang menjadi salah satu motivasi terbesarnya adalah ibu sahabatnya. Ibu dari sahabat Mawar ini menikah di usia 21 dan miliki 5 orang anak. Kita sebut saja ibu Dewi. Di mata Mawar, ibu Dewi adalah sosok bidadari dalam bentuk manusia dan idaman semua anak seumuran Mawar. Pada saat itu, belum populer ilmu-ilmu parenting masa kini yang mengharamkan tindak 'kekerasan' verbal, visual, maupun mental. Tentu saja Mawar sangat mencintai ibunya, tapi semakin sering Mawar menginap di rumah sahabatnya dan melihat bagaimana ibu Dewi bersikap dan mendidik anak-anaknya, tak ayal membuat Mawar terkadang membandingkan bagaimana ibunya bersikap kepadanya dan adik-adiknya.

Tapi kita tidak akan membicarakan soal bagaimana ibu-ibu itu mendidik anak-anaknya. Intinya, semakin mengamati ibu Dewi, diam-diam Mawar mengidolakannya dan ingin mengikuti jejaknya untuk menikah di usia muda. Tentu saja wacana nikah muda juga didukung dengan lingkaran pertemanan dan kegiatannya yang memang membuat Mawar tak tertarik untuk menjalin hubungan asmara atau sekedar hubungan yang melibatkan rasa. Idealismenya kukuh, tidak ada pacaran (apa pun bentuknya) sebelum menikah, perlahan tapi pasti membentuk benteng kokoh di hati yang tampaknya tak tertembus. 

Mawar mudah sekali suka dengan seorang lelaki tetapi sekedar suka tak lama setelah itu lupa, kecuali seorang lelaki. Ia adalah seniornya di kampus. Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kampusnya, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang ternyata adalah seniornya di kampus. Hingga enam atau tujuh tahun berikutnya, nama lelaki itu tetap nangkring di urutan pertama jajaran calon pendamping hidup. Beruntung Mawar adalah seorang aktivis yang selalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan sehingga membuatnya sedikit tidak terlalu melow  dan ngarep. Meskipun suka, tak ada yang dilakukan Mawar untuk mengutarakan atau sekedar memberi kode kepada sang pujaan hati tentang perasaannya. Paling mentok, ia bercerita dengan sahabat perempuan dari sang pujaan hati, yang tahu betul Mawar bukan lah 'selera' sang lelaki. 

Karena kesibukan meraih mimpi, Mawar bersyukur ia tak mengalami patah hati mendengar pujaan hatinya selama tujuh tahun itu akhirnya menikah. Live still go on. Mawar melewati babak baru dalam hidupnya di negara yang selama ini diidam-idamkannya, Jepang. 

Satu mimpi untuk bisa kuliah di Jepang tercapai. Namun mimpi utama ia sejak SMA yang telah terlambat beberapa tahun dari target belum kunjung tampak titik cerahnya. Sehingga keberangkatannya ke Jepang juga membawa misi terselubung untuk menemukan pasangan hidup. 

"Katanya mau nikah. Kok malah kabur ke Jepang?" seloroh seorang kawan yang tahu betul obsesiku untuk menikah muda.

"Justru karena mau ketemu jodoh aku ke Jepang. Bumi Allah kan luas, mana tahu jodohku memang di sana," jawab Mawar santai. Jiwa muda dengan semangat ideologi masih sangat membara dalam diri gadis penuh energi itu.

Satu tahun berlalu....

Banyak hal baru yang membuat hidup Mawar semakin berwarna dan menantang. Naik turun tajam seperti roller coaster. Dalam satu waktu Mawar mengalami masa Honeymoon di lingkungan baru membuatnya selalu excited sekaligus di saat yang bersamaan mengalami tekanan batin. Kultur riset yang belum pernah ia kenal dan kesepian yang mendalam membuatnya menangis setiap malam. Praktis setahun pertama Mawar disibukkan dua rasa itu. Siang bahagia mengeksplorasi dunia, malam tersedu mengiba.

Hingga pada suatu hari di bulan Ramadan, ia bertemu seorang lelaki muda, sebut saja namanya Kumbang. Eh, jangan ding. Belalang saja. Ya, kita sebut saja lelaki itu Belalang. Nah saat itu Sang Belalang mendapat giliran menjadi imam sholat tarawih. "Aduhai, siapa ini orang baru yang jadi imam? Masih muda pula, sepertinya masih single. Boleh lah jadi imam hidup," khayal Mawar seketika. 

Hampir satu tahun kemudian, karena kampus yang kecil dan komunitas muslim yang lebih kecil, membuat Mawar dan Belalang sering berinteraksi dan menjadi teman akrab selama dua bulan. Ya, hanya dua bulan yang tanpa disadari telah meluluh lantakkan benteng hati yang Mawar bangun selama ini. "Aduhai, rasa apakah ini?" 

Setelah dua bulan intens berinteraksi, Mawar sadar ada yang tidak beres. Ia merasa telah melanggar prinsip hidupnya. Memang ia punya banyak teman lelaki, tapi tidak pernah seeintens itu berinteraksi. Tak mau berlarut-larut dalam ketidakpastian, Mawar mantap untuk mengkonfirmasi hubungannya dengan kawannya itu dan ternyata memang hanya kawan, tidak lebih. Ternyata kedekatan mereka selama dua bulan itu, yang bahkan sempat memicu gosip,  memang tidak pernah dimaksudkan untuk status yang lebih dari teman. 

"Baiklah," kata Mawar menerima setelah mendengar jawaban yang mengecewakan itu. Mulut menerima kenyataan, apa daya hati tak terima. Mawar baru sadar betapa lengah dia dua bulan itu. Dalam kesulitan berjibaku dengan kesepian dan beban riset, kedatangan seorang kawan seolah menjadi Oase. Sayangnya kawan itu datang dalam bentuk lelaki muslim yang seolah kebetulan, seolah menjadi sebuah jawab dari mimpi Mawar yang sudah bertahun-tahun tertunda. Menikah. "Oh Allah, apakah kau kirimkan ia sebagai imamku?" Tanpa sadar pikiran itu telah meracuni Mawar sejak pertama mulai berteman hingga tak terasa dua bulan lamanya hampir tiada hari tanpa saling sua.

Masih tak terima dengan kenyataan, rasanya untuk pertama kalinya dalam hidup, Mawar merasakan patah hati. Di saat kawan-kawan sebayanya sudah khatam dengan rasa itu sejak masa SMA atau awal kuliah, Mawar bahkan belum menyadari ketika rasa itu benar-benar mengampiri? Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan ketika menerima penolakan. Tak terima? iya, tapi mau bagaimana juga memangnya kalau tidak terima? Tak bisa juga rasa dipaksa-paksakan. Salah sendiri juga sudah ngarep. Secara teori, Mawar sangat paham bahwa kalau kita mulai berharap kepada manusia, siap-siap lah kecewa. Tapi tetap saja pada praktiknya ia melakukannya. Kecawa lah ia sekarang.

Tapi Allah Maha Pengsih dan Penyayang. Di saat hati babak belur, Allah menitipkan rezeki lebih untuk Mawar. Saat itu ia mendapatkan dua beasiswa di saat yang bersamaan. Seoalah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mawar ingin berangkat Haji tahun itu juga. Namun apa daya tidak ada biro haji Jepang yang menerimanya karena tidak adanya Mahrom. Tak mau menyerah, pokokknya Mawar ingin ke Baitullah. Akhirnya ia mendaftarkan diri untuk umroh berangkat dari Indonesia.

Tekad kuat Mawar untuk umroh, salah satunya dan tak salah lagi, adalah karena patah hati. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Riset yang sudah sejak awal terseok-seok dijalaninya, semakin mentok tak bisa berpikir mau apa. Masa bulan madu dengan Jepang pun sudah berlalu. Tak ada lagi exitement yang sama untuk eskplorasi hal-hal baru. 

Singkat cerita, atas izin Allah, berangkatlah Mawar ke Makkah untuk ibadah Umroh. Sepanjang perjalanan, dzikirnya tak henti-henti sambil menata hati. Ia tak tahu pasti doa apa yang paling ingin dia panjatkan. Menikah? .... tentu saja. Tapi dengan siapa?..... Itu dia masalahnya. Masalahnya, Mawar masih belum rela dengan kenyataan cinta bertepuk sebelah tangan. Oops apa tadi? cinta? Apakah benar itu cinta? 

Jadi, bagaimana Mawar selama sepekan rangkaian ibadah umroh? Apakah ia mengalami hal-hal yang di luar dugaan? Apa doa-doa yang akhirnya terus ia ulang-ulang? Dan yang paling penting, apakah ia akhirnya bisa menerima kenyataan pahit kasih tak sampai? 

Bersambung... :D

Wednesday, August 3, 2022

Menuju Tahun Ketiga

Salzburg, 2022

"Why are you crying?" tanyanya panik melihat air mataku yang meleleh begitu saja.

Aku membiarkannya memelukku untuk menenangkanku yang semakin sesenggukan. Meskipun panik, ia sabar tak memberondong pertanyaan alih-alih menungguku menjawab setelah tenang. Salju di luar pun nampaknya sehati dengannya, seolah menanti jawabku.

Kubalas pelukannya sesaat kemudian. "I am very grateful for what Allah has given to me. You ... are more than what I want and need. You are the answer to my prayers. Only that Allah gave me more than what I have ever expected," kataku akhirnya. "And I couldn't hold my tears ... because of happiness and gratefulness."

Salju di luar mulai turun seiring dengan semakin erat pelukannya menambah syahdu malam itu. Baru satu pekan usia pernikahan kami saat itu. Pernikahan yang kami putuskan dalam sekejap mata seolah tanpa pikir panjang. Meskipun hampir satu tahun kenal dan berteman, tak ada kisah romantis sebelumnya hingga ia beranikan melamar langsung ke bapak, sekitar sepekan sebelum tiba-tiba menikah. Lamaran cowboy yang harus kuterjemahkan sendiri dari seorang 'kawan' dengan kaos oblong dan celana pendek kepada wali atas hidupku saat itu, sang bapak. 

Banyak percakapan, diskusi, dan curahan hati selama kami berkawan yang akhirnya mengarah ke perbincangan serius tentang kemungkinan mengarungi masa depan bersama. Seperti umumnya orang barat yang tidak betul-betul meyakini agama, awalnya pernikahan bukan menjadi prioritas hidupnya.  Sementara itu aku yang memilih nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup, memandang pernikahan adalah salah satu tujuan hidup (kalau bisa).  Meskipun tak menisbatkan diri pada aturan agama tertentu, ada nilai-nilai yang dia pegang dalam hidup diantaranya menjadi manusia yang bermanfaat dan tidak merugikan manusia lain maupun lingkungan. Prinsip hidup yang pada dasarnya sejalan pula dengan nilai-nilai Islam yang kupegang. Namun, memilih Islam berarti memilih untuk taat dengan aturan yang ditetapkan Allah sesuai Al-Qur'an dan sunnah. 

Sunday, January 2, 2022

Wahai Jarak, Enyahlah!

Long distance marriage atau lazim disingkat LDM adalah istilah untuk mendeskripsikan pasangan suami istri yang tidak tinggal bersama karena jarak fisik yang memisahkan. Ada pasangan yang melakukan LDM karena pilihan, misalnya akibat pekerjaan, dan ada juga yang terpaksa karena keadaan, misalnya akibat pandemi.

Keputusan LDM itu sendiri sudah bukan opsi ideal dan menyenangkan untuk pasangan yang sudah menikah apalagi bagi yang harus melakukannya karena terpaksa. Hal ini dapat memicu stress dan ketidakstabilan kesehatan mental. Belum lagi dengan ketidakbebasan berperjalanan karena pandemi menimbulkan perasaan terpenjara di udara terbuka. Pertanyaan “kapan bisa bertemu?” yang secara konstan terngiang seolah menjadi mimpi buruk karena tak ada jawaban pasti.

Namun, things happen with a reason. Selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap kejadian. Sebagai pengantin yang baru beberapa bulan menikah kemudian terpaksa harus dipisahkan oleh jarak karena pandemi, ada setidaknya tiga pelajaran penting yang dapat saya ambil.

Friday, December 31, 2021

Melamar Diri Sendiri

Di ruang tamu siang itu kami terbagi ke dalam tiga kubu. Di kubu kanan, duduk Dwi, salah satu adik lelakiku, yang malah terkikik geli ketika kulirik dengan tatapan ganas. Di sampingnya tampak Rez, adik lelakiku yang lain, senyum-senyum menanti apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan. Mei, istri Rez, yang meskipun sedang sibuk bermain dengan putrinya pun berusaha untuk tidak ketinggalan momen.

Sssttt … heh,” sergah Ibu menyuruh Dwi berhenti terkikik. Dwi masih berusaha menahan tawa melihatku mencoba menutupi sikap malu-malu dan salah tingkah yang mungkin terlalu jelas untuk disembunyikan. Ibu dan Bapak yang duduk di kubu kiri makin tak sabar menunggu apa yang akan disampaikan si kubu tengah, aku dan lelaki yang duduk di sebelah kiriku. “Wis … gek ndang ngomong,” kata Bapak menyilakan kami berbicara setelah semua tampak siap mendengarkan.

Segera kualihkan pandang kepada lelaki yang dari tadi diam tak mengerti sepatah kata pun dari yang dibicarakan anggota keluargaku. Kuanggukkan kepala sebagai kode bahwa dia sudah dipersilakan berbicara oleh si tuan rumah yang dibalas dengan anggukan juga olehnya. Selama sepersekian detik rasanya aku ingin tertawa melihat wajahnya yang lebih pucat dari biasanya karena nervous. Untunglah aku cepat menahan diri dengan berempati jika aku di posisinya mungkin aku juga panik. Akhirnya suasana ruang tamu menjadi sunyi senyap, bahkan keponakanku yang tadi sibuk bernyanyi sendiri tiba-tiba diam.

Thursday, December 30, 2021

Past Life

Sometimes I am missing my past life.
The life when I always have somebody with me. Friends.
The life when the word "love" was applied for everything.

Accepting someone or struggling with somebody?
Tired.
Tired to catch somebody's love and attention,
but not ready to accept somebody who is far from mind.

Sometimes I am missing myself in the past time.
When I used to don't care about such a feeling.
When I used to do whatever I like.
Selfish!
Maybe.

Akhirnya hanya kuikuti kata hati
Mengalir entah kemana ku pun tak tahu
Kuserahkan semua kepada Sang Pemilik Hati
Meski kadang terselip rasa ragu
Ragu akan kemampuan diri tuk memahami
Tersebab dosa menumpuk di hati

                                                                                                                        (Sometimes in 2018 or 2019)