Monday, November 25, 2019

[Cerita dan Tarian] II - Tak Mungkin

(cerita sebelumnya, [Cerita dan Tarian] I )


"Kamu serius? Tapi dia mau pergi!" kata Mala ketika tahu siapa yang kupikirkan hingga membuatku tidak bisa tidur beberapa hari ini.

"Iya aku tahu," kataku pasrah.

"Tapi, Sarah....," Mala tak tahu harus berkata apa. Aku tahu sebenarnya bukan masalah dia yang akan pergi tapi ada hal yang lebih sulit. Sangat sulit sehingga kami pun tak berani mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa menit.

"Huff.... OK, Sarah. Dia baik. Aku yakin dia akan menjadi pasangan yang baik untukmu. Dia akan akan selalu memberimu kejutan dan berusaha membahagiakanmu. Tapi, kau kan tahu dia seperti aku. Dia tidak akan percaya Tuhan," lepas sudah setelah beberapa waktu akhirnya Mala menemukan kata-kata untukku.  

Aku hanya diam tidak membalas sepatah kata pun. Mala pun tampak berpikir keras. Dia sangat baik, hati-hati dia memilih kata yang tepat untukku. "OK, aku tanya, siapa yang mulai?"

"Hmmm.... aku." Tambah terkejutlah Mala. Semakin tak menemukan kata. Aku paham apa yang ada di benaknya. "Tapi sebelum menyatakannya aku memastikan dulu kalau dia pun punya perasaan yang sama. Kupikir dia hanya malu untuk mengungkapkannya," lanjutku membela diri berusaha menunjukkan itu tidak seluruhnya salahku. Selama ini dia selalu bercanda di hadapan kawan-kawan yang lain bahwa dia menyukaiku, berakting seolah-olah menjadi suamiku, dan candaan sejenis. Awalnya kupikir candaan itu lucu-lucu saja karena kita semua sadar itu benar-banar hanya candaan yang tidak mungkin benar. Tidak mungkin karena selain saat itu aku sedang patah hati, semua juga tahu kalau aku tidak akan menikah dengan non-muslim. Dari awal memang aku bilang aku tidak akan tertarik dengan non-muslim untuk dijadikan suami. Sama halnya, dia pun tak pernah sebersit pun untuk menjadi muslim.

Jadi lah dia terus menerus bercanda seperti itu sedangkan aku tidak menanggapi sepatah kata pun dan ikut-ikut tertawa bersama yang lain. Namun, entah apa yang terjadi mungkin karena dia satu-satunya kawan lelaki yang paling sering berjumpa, minimal sepekan sekali lah, aku mulai mempertimbangkan adanya kemungkinan. Mulai ada chemistry yang bekerja. Mulai ada rasa ingin selalu bertemu dan ngobrol, mulai ada debaran dan sepertinya harapan.

Pernah pada suatu waktu kita makan siang bersama aku bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling, "Kamu beneran suka aku?" dan dia pun mengiyakan. "Andaikan kamu tidak begitu religius dan aku agak sedikit religius, kita mungkin bisa bersama," katanya waktu itu. Rasanya saat itu ingin kukatan bahwa kita mungkin bisa ada kesempatan. Tapi aku pun tak yakin. Akhirnya aku pun diam dan mengangguk membenarkan 'pengadaian' dia. Meski harus diakui bahwa saat itu aku sedikit kecewa karena dia bahkan tidak berusaha mencoba kemungkinan.

Hari berganti, sekitar satu bulan kemudian, rasa hati mulai tak terbendung. Semakin dalam aku berpikir hingga akhirnya introspeksi diri lagi, apa sih yang sebenarnya aku inginkan, orang macam apa sih yang aku mau, apa sih tujuan hidupku, bagaimana mungkin orang tidak percaya Tuhan yang menurutku begitu nyata, dan pertanyaan-pertanyaan lain berseliweran di dalam diri. Hingga malam itu setelah beberapa hari berpikir keras dan tidak bisa tidur, akhirnya kucari kesempatan untuk berbicara. Akhirnya hari itu hari Jum'at petang ada kesempatan yang memungkinkan untuk bertanyakan topik personal. Di dalam perjalanan saat itu aku menanyakan beberapa pertanyaan padanya untuk memastikan diri bahwa dia masih memiliki rasa yang sama. Sempat ingin kubatalkan saja niat untuk mengkonfirmasikan soal rasa ini, namun akhirnya kukatakan untuk pertama kalinya secara jelas bahwa aku menyukainya. Selama ini memang aku tidak pernah membalas candaan-candaan tentang suka-sukaan tapi sebenarnya sikap dan bahasa tubuhku sudah nampak karena aku juga tak pernah mengatakan "tidak".

Sepersekian detik tak ada tanggapan apapun darinya, tapi aku sudah siap dan berusaha masa bodoh.

"Aku juga suka kamu," katanya tiba-tiba. Jujur, ada sedikit rasa lega setidaknya rasa ini tidak bertepuk sebelah tangan.

"Apa itu bercanda?" Tanyaku segera setelah menguasai diri.

"Tidak," katanya.

"Menurutmu apakah kita mungkin ada masa depan?" sengaja aku tidak melanjutkan kalimat karena memang tidak menemukan kata yang tepat.

Berpikir sejenak. "Jika mempertimbangkan mungkin atau tidak mungkin, kemungkinan itu pasti ada. Tapi kalau boleh jujur, hampir tidak mungkin," katanya kemudian. Cukup mengecewakan.

Tapi aku tidak menyerah. "Bagaimana kalau kubilang kita mungkin?" 

"Karena ada beberapa hal dari masing-masing diri kita yang tidak bisa dinegosiasi."

"Apa itu yang tidak bisa dinegosiasi?" Tanyaku retoris. Tanpa menunggu jawabannya, aku melanjutkan "Well, aku pikir kita mungkin saja. Permasalahannya adalah kamu belum mengenalku, kamu belum pernah mencoba mengenal Islam...."

"Tapi aku sudah tahu lumayan banyak tentangmu kan," elaknya. Dia merasa sudah cukup mengenal, memahami dan mengertiku yang sebagian memang kuakui benar. Mungkin itu salah satu sebab aku menyukainya, karena dia bisa memahamiku ketika orang lain bahkan agak kesulitan mengerti maksud kata-kataku yang sering random.

"Tapi masih banyak hal yang kamu belum tahu juga. Dan aku tidak bisa menjelaskan apa itu kalau bukan kamu sendiri yang mencari tahu." Berhenti sejenak kutunggu apa reaksinya. Entah dia sedikit mengangguk atau tidak yang jelas tak ada sepatah kata pun darinya saat itu.

"Setelah berpikir panjang dan berulangkali bertanya pada diri sendiri, akhirnya aku mengambil kesimpulan, kalau kamu mau mengenalku lebih dalam, kamu bisa mencoba menjawab tiga pertanyaan yang setiap pertanyaannya boleh kamu jawab kapan saja....."

"Ya, Sarah. Aku mau mengenalmu." Ada sedikit lonjakan di dada ketika dia tiba-tiba memotong kata-kataku itu. Kejutan yang membahagiakan. Tapi cepat aku menguasai diri dan melanjutkan kata-kataku.

"OK, kalau benar-benar serius, aku beri tantangan pertanyaan pertama dan kamu boleh cari referensi dari mana pun, atau tanya kepada siapapun. Setelah kamu jawab pertanyaan pertama, baru nanti kuberikan pertanyaan berikutnya. Hingga pertanyaan ketiga, baru setelah itu kita lihat apakah kita ada masa depan."

"Baik. Tapi jika pada akhirnya kita memang tidak mungkin, bisakah kita tetap berteman?"

"Tentu saja! Aku tidak pernah unfriend siapa pun. Bahkan kepada orang membuatku mematahkan hatiku sendiri."

"hahahahaha..." Ya, dia tahu cerita patah hatiku yang cukup cheesy itu. "OK. Boleh tolong kamu tulis pertanyaannya nanti di chat? Takut lupa."

"I will," jawabku menyepakati."Oh, satu permintaan. Tolong jangan katakan kepada siapa pun ya, termasuk kepada sahabatmu itu. Aku juga tidak cerita kepada siapa pun kok."

"OK. Tapi mungkin aku akan cerita ke adikku. Kupikir tidak masalah kan kalau aku cerita ke keluargaku." Sekali lagi aku sepakat.

Kemudian beberapa hari setelah percakapan itu, aku masih saja belum bisa tidur nyenyak. Masih saja aku memikirkannya dan masa depan yang masih belum jelas ujungnya. Akhirnya kutelepon lah seorang sahabat. Hari berikutnya ku sms seorang sahabat yang lain. Hari berikutnya kucerita pada seorang kawan yang lain hingga tak terasa aku sudah bercerita kepada 5 orang! Mala adalah orang kelima itu.

Aku merasa mulai mengenali pola ini yang berdasarkan pengalaman akan berujung pada patah hati. Sekitar lebih dari dua tahun yang lalu ketika aku mulai merasakan apa yang banyak dirasakan para remaja puber, aku seolah mengumumkan ke seluruh dunia. Semua orang tahu siapa yang kusuka. Dan semua orang tahu itu adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi ku tak peduli. Kuceritakan apa yang kurasakan kepada hampir semua kawanku. Memang sangat tidak pantas dan sangat mentah apa yang kulakukan saat itu. Mungkin itulah yang disebut cinta yang membutakan. Padahal sebelum itu aku sangat yakin pada diriku tidak akan jatuh kepada hal-hal picisan macam itu. Sungguh memalukan. Tapi akhirnya, aku harus merasakan pahitnya buah kesombongan ketika sebagian kawan seumuran sudah melewati masalah seperti itu dengan lebih bijak dan dewasa.

Aku sangat takut akan jatuh ke lubang kesalahan yang sama. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sepekan sudah sejak ia menerima pertanyaan pertama dariku, tapi belum juga ada kabar lanjutan darinya. Sempat beberapa hari yang lalu ia bertanya bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, apakah tertulis atau presentasi atau bagaimana. Saat dia menanyakan itu, sempat muncul harapan dia akan menjawabnya segera. Ternyata beberapa hari dari itu pun masih belum ada lanjutan lagi. Perasaan tak keruan dan tak tahu harus bagaimana. Sebelum bercerita kepada Mala, sebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak menceritakan lagi kepada siapa pun. Tapi, akhir-akhir ini aku sering main bersamanya dan dia melihat ada yang tidak beres denganku. Akhirnya kubiarkan dia menebak-nebak apa yang terjadi dan aku hanya menjawab ya dan tidak. Dia pun cukup terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di pikiranku selama ini.

"Sarah, aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ini sangat sulit," kata Sarah memecah keheningan setelah pengakuan bahwa aku lah yang menyatakan dulu.

"Ya aku tahu. Itu sebabnya aku tidak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini. Itu yang menganggu pikiranku selama ini. Bahkan setelah tahu bahwa kita saling suka, dia tidak melakukan apa pun. Rasanya aku terus yang mulai. Aku takut jatuh ke lubang yang sama."

Mala mengangguk paham, "Sarah, sebenarnya kalian bisa jadi pasangan ideal. Tapi kenapa harus muslim? Kenapa kamu hanya menikah dengan muslim?"

"Ya....." jeda sejenak kuberpikir memilih kata. "Mala, aku ingin pasangan tidak hanyak untuk dunia ini. Dunia tempat kita sekarang sangat fana. Dunia ini akan berakhir, hidup di dunia ini sangat sebentar dibanding hidup setelah kematian. Aku ingin pasanganku di dunia ini juga menjadi pasanganku di masa setelah kematian kelak." Pertanyaan Mala barusan termasuk yang membuatku gelisah beberapa hari ini, ketika proses introspeksi diri dan menanyakan kembali tentang kehidupan fana ini. Syukurlah aku sudah memiliki jawabannya  ketika seseorang benar-benar menanyakan seperti yang baru saja dilakukan Mala.

"Tapi dia tidak akan masuk neraka kan, Mala. Dia orang baik. Sangat baik. Orang baik tidak akan masuk neraka kan? Meskipun dia tak percaya Tuhan." Kali ini aku tidak menyangka tiba-tiba Mala berkata atau bertanya seperti itu. Ingin menangis rasanya. Aku yang dulu mungkin akan menertawakan pernyataan Mala itu. Bagiku dulu, pernyataan itu sungguh konyol, bagaimana mungkin orang kafir masuk syurga? Paman Rasulullah saja masuk neraka. Sungguh berpikir pendek dan tidak ada empati. Aku sekarang seolah merasakan yang Rasulullah dulu rasakan ketika mengingat Abu Thalib Sang Paman.

Allah Maha Adil. Itu yang kutahu. Tapi aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Tiba-tiba kumerasakan beban berat di pundakku. Untuk kesekian kalinya terutama ketika aku mulai mengenal mereka, sungguh semakin kurasakan betapa nikmat iman adalah nikmat terbesar. Tak bisa kubayangkan hidup tanpa iman sedangkan ayat-ayat Allah sungguh jelas. Tapi bagaiman dengan kawan-kawanku itu? Mereka tidak melihat apa yang aku lihat. Tidak merasakan manisnya iman yang kurasakan.

Kutatap Mala sejenak sebelum akhirnya kupalingkan karena kutak ingin ia melihat airmata yang mulai mengambang di mataku. "Ya dia orang baik." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Mungkin dia tidak akan percaya Tuhan, sama sepertiku, tapi dia akan sangat menghormatimu. Tidak akan mengganggu ibadahmu. Kalau pun kamu mau membesarkan anakmu dalam Islam, dia pasti tidak akan keberatan."

Seandainya rasa itu belum ada, akan dengan mudah kujawab bahwa aku membutuhkan suamiku untuk bersama-sama mendidik anak dalam Islam. Tapi lagi-lagi aku seolah kehilangan semua kata.

"Hmm, sepertinya kita harus balik. Sudah mulai sore," kata Mala mengakhiri.

"Hm." Kami pun beranjak dari bangku yang sudah menjadi saksi perbincangan kita.

"Good luck, Sarah."

"Hm."



2 hari kemudian.



"Aku tak bisa tidur semalam," sebuah pesan dari Mala masuk ke ponselku. "Aku memikirkan kegagalan-kegagalan yang akhir-akhir ini aku dapat." Ya, akhir-akhir ini memang kita sering bersama karena kegaluan masing-masing. Kawan galau lah. 

Aku yang sedang bosan di kelas dengan senang hati menanggapi pesan-pesan dari Mala. Diantara pesan-pesan itu, Mala mengatakan sempat mengatakan bahwa ia memikiran tentang aku dan lelaki itu, mutual friend kita. Akhirnya kita sepakat untuk makan siang bersama dan membicarakan itu.

Aku terlambat beberapa menit dari waktu yang ditentukan. Mala sudah di meja makan ketika aku datang. Sebelum Mala sempat memanaskan makanannya, aku sudah tak sabar mendengar apa yang ingin dia sampaikan. Nampak dari wajahnya, Mala sudah menyiapkan kata-kata agar aku tidak terlalu down. Sedangkan aku, aku sudah siap dengan kabar apapun.

"Jadi, semalam aku memikirkan dan berusaha memposisikan diriku di posisinya. Maksudnya, bagaimana jika aku menyukai seorang yang religius. Aku mungkin bisa saja convert, tapi aku tidak yakin akan melakukannya secara official, tapi aku bisa saja melakukan ibadah dan tidak akan menyerah untuk terus belajar agama. Mungkin aku tetap tidak akan percaya Tuhan, tapi aku akan tetap Ibadah sebagai meditasi." Tanpa kusadari Mala selama ini memperhatikanku sholat dan pada suatu hari setelah selesai sholat ia mengatakan bahwa ibadah lima kali sehari itu baik juga untuk kesehatan. Seperti mediatasi lima menit katanya.
"Tapi yang menjadi permasalahan adalah menurut budaya kami, aku tidak akan menikah sebelum tinggal bersama paling tidak selama tujuh tahun. Kupikir dia menganut hal yang sama sepertiku karena kami pernah membicarakan hal ini. Dan kamu tidak akan melakukan itu kan? Tinggal bersama tanpa ikatan?," lanjutnya. Aku tidak menjawab pertanyaan Mala karena itu pertanyaan retoris. 

Kutatap mata Mala. Sudah kusiapkan diri mendengarkan hal tak sesuai harapan pun. Dan kupikir aku berhasil. "Terima kasih, Mala. Mungkin itu sebabnya dia tidak melakukan apa pun. Mungkin dari situ dia sudah berpikir bahwa kita tidak mungkin. Tapi aku akan coba tetap menunggunya tanpa memaksakan apapun."

"Kamu yakin? Kamu tahu ini berbahaya."

"Sangat berbahaya." Kami sadar betul apa yang mungkin saja terjadi. Kemungkinanku untuk jatuh ke kubangan yang sama, kubangan patah hati, sangat tinggi sekarang. "Tapi kamu siap ya menangkapku kalau aku jatuh nanti. hahaha."

"Jangan khawatir, aku siap menangkapmu. hahaha"

Tiga puluh menit kemudian dia yang dari tadi kita bicarakan bergabung untuk makan siang bersama dan kami pun ngobrol dengan sangat normal.



(bersambung ke [Cerita dan Tarian] III)



No comments:

Post a Comment