Saturday, April 27, 2024

Mudahkan jangan Dipersulit

Baru saja membaca sebuah tulisan singkat di Facebook yang dibagikan oleh seorang sahabat. Tulisan itu menceritakan seorang habib yang berdakwah di sebuah desa di Afrika. Seorang kepala desa mengatakan mau masuk Islam tapi tidak mau salat. Tanpa mempersulit, Sang Habib pun membimbing Sang Kepala suku bersyahadat. Saat Eid, Sang Habib mengajak Kepala Suku untuk salat Eid karena ringan, hanya dua rakaat. Kemudian pada Hari Jumat, Sang Kepala Suku mulai diajak lagi, karena sama ringannya dengan salat Eid, hanya dua rakaat. Kemudian Sang Kepala Suku mulai menambah salat mulai dari Magrib dan terus menambah ibadah tanpa ada paksaan.

Entah bagaimana kebenaran cerita tersebut, aku mendapatinya masuk akal dan setuju dengan pesan yang disampaikan untuk tidak mempersulit orang masuk Islam dan mendapatkan hidayah. Kita manusia biasa yang tidak memiliki hak untuk menghakimi status spiritual seseorang. Apalagi dalam hal ini sangat mudah kita merasa mendapat hidayah lebih dulu kemudian merasa cukup 'senior' untuk mengajari tentang agama kepada mualaf atau orang yang baru 'hijrah'.

Bagiku, cerita itu memberi kesan yang lebih karena tepat seperti pengalaman pribadi. Aku dan suami adalah teman baik sebelum kami mulai ada rasa dan memutuskan untuk menikah. Saat itu, suami seperti pada umumnya pemuda Eropa masa kini, agama bukan lagi untuk diimani dan menikah hanyalah masalah administrasi dan keuntungan pajak. Sedangkan aku, dari kecil dibesarkan di lingkungan yang beragama dan sangat mensakralkan konstitusi pernikahan.  Sehingga jelas dari awal kami tak ada niatan untuk hubungan yang lebih dari teman.