"Kok nikah sama mualaf? Kenapa ga sama yang dari awal muslim?"
"Kenapa ga nikah aja sama orang Indonesia?"
"Gimana tu nikahnya? Kok orang tua ngijinin?"
"Gimana perasaan orang tua? Anak perempuan satu-satunya, malah orang lain yang menikahkan."
and so on, and so forth.
Hokkoku-shinbun (Harian Hokkoku), 26 Mei 2020 |
Tanggal 29 Desember 2019, hari itu hari dimana kami mendapat restu orang tua untuk menikah asalkan lelaki itu menjadi muslim dan mau terus belajar dan berusaha menjadi muslim yang utuh. Sejak hari itu kami pun fokus dengan belajar lagi untuk menjadi muslim yang paling standar (memenuhi rukun Islam). Awalnya kami berpikir akan membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk membuatnya yakin memutuskan masuk Islam.
Namun, ternyata sejak tanggal 29 Desember 2019 itu kami intens berdikusi tentang Islam dan dia pun di hari yang sama tiba-tiba berinisiatif untuk mulai ikut sholat. Detail mengenai bagaimana kami pertama mengenal hingga akhirnya memutuskan untuk menikah aku tulis di postingan lain dalam bentuk cerita bersambung yang berjudul Cerita dan Tarian. Dalam cerita tersebut, nama disamarkan (meskipun mudah untuk dikenali sih), tapi kejadiannya nyata. Ceritanya pun belum selesai ditulis. Masih bersambung.
Long story short, berawal dari kunjungan ke rumah Pak Matsui dan mbak Hikmah, sebagai sesepuh Ishikawa Muslim Society, pada tanggal 4 Januari 2020, akhirnya kami berpikir bahwa tidak ada alasan kuat untuk menunda pernikahan. Sehingga diputuskanlah tanggal 6 Januari 2020 untuk ikrar Syahadat, pintu gerbang untuk menjadi muslim, dan tanggal 7 Januari 2020 mengesahkan hubungan kami menurut aturan Islam. Orang tua dari kedua belah pihak kami beritahu sepulang dari rumah Mbak Hikmah dan alhamdulillah mereka semua setuju tanpa syarat.
Saat itu kami tidak bisa berpikir apa-apa selain memikirkan kenyataan bahwa kami akan menikah. Masih merasa tak mungkin dan segala rasa-rasa tak keruan lainnya. Aku bahkan tak bisa memikirkan baju apa yang akan kupakai, siapa saja yang harus diundang, apa saja yang perlu dipersiapkan dan lain-lain. Alhamdulillah para sahabat yang dikomandani Mbak Dian dan Savvana spontanitas gesit mengatur segala sesuatunya.
Acara pun selesai dengan banyaaaak keterbatasan. Ruangan yang kecil, ditambah belum ada dokumen sah dari negara, dan persiapan yang super kilat, membuat segalanya jauh dari sempurna.
Ada banyak kesalahpahaman dan pertanyaan buah dari kenekatan kami itu. Tapi aku tidak ada daya untuk menjawab semua pertanyaan dan meluruskannya karena selain karena semua memang terjadi secara dadakan, pernikahan kami baru sah secara Islam. Mengucapkan terima kasih para sahabat yang langsung maupun tak langsung membantu pun aku tak kuasa. Sungguh tak sopan sikapku itu. Aku berniat untuk meminta maaf dan berterima kasih kepada semuanya setelah semua urusan dokumen selesai.
Namun ternyata urusan dokumen sungguh menguras jiwa, raga, dana, waktu dan tenaga (mungkin aku akan share mengenai dokumen nikah ini di lain kesempatan). Dari awal Januari 2020 kami mulai mengurus dokumen, akhirnya baru 22 Mei 2020 pernikahan kami sah menurut pemerintahan Jepang dan diumumkan di koran Hokkoku-shinbun pada tanggal 26 Mei 2020. Segera kulaporkan pernikahan itu ke KBRI Tokyo dan alhamdulillah sepekan kemudian kami mendapat dokumen balasan dari KBRI Tokyo. Dokumen ini nantinya harus dilaporkan lagi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kabupaten tempatku tinggal di Indonesia. Dan sebelum itu, kami masih harus melaksanakan ijab qabul yang diakui negara RI, ijab qabul yang harus dicatatkan oleh penghulu yang ditunjuk oleh negara. Dokumen untuk persyaratan pernikahan Islam sudah lengkap, tapi kami masih harus ke KBRI dengan membawa 2 saksi untuk pelaksaannya.
Dan di sini lah kami sekarang. Masih terkatung bingung karena kami tidak memiliki kenalan yang bisa menjadi saksi nikah kami di Tokyo. Membawa 2 orang saksi dari Ishikawa ke Tokyo dirasa bukan pilihan karena perjalanan pulang pergi Ishikawa-Tokyo untuk 4 orang tidaklah kecil bagi kami yang berstatus sebagai pelajar dengan penghasilan tidak tetap (bahkan bisa dibilang jobless). Selain itu kami lelah. Sejak Januari kami terus bergulat dengan paperwork ini. Wara wiri Tokyo, Ishikawa, Osaka. Kirim dokumen Japan-Indonesia-Jerman-Japan. Membayar dokumen ini itu. dll dsb.
Mungkin ada yang bertanya, Bagaimana Rasanya nikah sama Bule Mualaf?
Well, aku tidak meminta untuk berjodoh dengan bule, apalagi mualaf. Yang selalu aku pinta dan sebut dalam doaku adalah agar diberikan jodoh yang terbaik menurut Allah. Yang cocok denganku, yang suka denganku dan aku suka denganya. Yang mau sama-sama belajar untuk menjadi muslim yang lebih baik. Selain itu, aku juga tak pernah meminta diriku dilahirkan di Indonesia dan suamiku pun tak meminta untuk menjadi orang Jerman. Tapi itu lah takdir Allah.
Semenjak di Jepang, semakin aku mengenal beragam manusia dari berbagai negara, semakin aku merasa bahwa memang manusia regardless passpor apa yang mereka pegang, ras dan budaya apa yang membentuk mereka, pada dasarnya mereka semua, kita semua adalah sama-sama manusia. Aku cinta Indonesia. Wajar karena di sanalah kampung halamanku. Di sanalah awal memoriku terbentuk. Tak ada yang bisa menggantikan posisi kampung halaman di hatiku. Tapi bukan berati segala hal ada yang ada di sana adalah yang terbaik untukku.
Aku tak tahu bagaimana orang lain melihatku, seorang wanita Asia Tenggara menikah dengan lelaki dari benua Eropa. Sebagian orang mungkin berpikir itu hal yang menyenangkan yang boleh dibanggakan, sebagian orang lain memandang sebaliknya, dan sebagian lain memandang biasa saja. Dan memang sesungguhnya, biasa saja, sama saja. Mau menikah dengan orang yang berasal dari negara yang sama maupun dari negara yang berbeda, jodohmu adalah jodohmu. Asalkan komunikasi lancar, kupikir semuanya sama. Ada susah senangnya dalam porsinya masing-masing. Bukan berati yang satu lebih baik dari yang lain.
Sebelum datang ke Jepang dan berada di lingkungan yang lebih homogen, memang aku melihat orang dari negara lain berbeda dari kita. Aku masih menilai orang dari negara dia berasal. Tapi sekarang aku merubah sudut pandangku melihat sesama manusia. Memang benar orang dari beda negara, akan berbeda budaya dan pada akhirnya beda karakter dan cara berpikir. Tapi sadarkah kita bahwa di atas semua perbedaan itu, kita semua adalah SAMA. We are all human. Selain perbedaan, kita juga punya banyaaaak kesamaan. Sama-sama perlu sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Sama-sama membutuhkan keadilan. Sama-sama ingin hidup bahagia. Sama-sama punya ego. Sama-sama punya rasa senang, sedih, gelisah, khawatir. Sama-sama bisa sakit dan energetik. Sama-sama bisa tersenyum dan marah. Sama-sama membutuhkan cinta dan kasih sayang. dsb. dll.
See, we are all the same. Semenjak cara pandangku terhadap manusia berubah, sebagai muslim aku jadi lebih memahami apa yang dimaksud Allah dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 13,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti."
Ya, yang membedakan manusia satu dan lainnya adalah tingkat ketaqwaan dan itu hanya Allah yang paling tahu. Manusia bisa saja menilai dari luar, tapi apa yang nampak belum tentu yang benar, bukan?
Sebenarnya aku tak mau membagi tulisan ini sekarang karena memang urusan masih belum selesai dan saya pun sibuk dengan adaptasi ke kehidupan pernikahan yang pendidikan agamanya harus dimulai dari NOL lagi.
Sudah banyak aku merepotkan orang untuk urusan pernikahan ini, apalagi keluarga kami di kedua belah pihak. Tapi aku pun tak mau membiarkan prasangka teman-teman terlalu lama tanpa kejelasan dari saya langsung. Beberapa kawan tak berani langsung bertanya kepadaku, kalau pun langsung bertanya, akan kujawab singkat "Nanti ya, kutulis di blog. Panjang soalnya." Kesannya sombong sangat. Mohon maaf sebesar-besarnya, tak ada maksud saya bersikap sombong dan sejenisnya. Sekarang, setelah aku bagikan tulisan ini, semoga dapat mengurangi prasangka di hati. Dan mohon sahabat-sahabatku untuk mendoakan khususnya untuk urusan pernikahan ini segera selesai dengan baik.
Special thanks to our family in Indonesia and Germany, Tim Kanazawa: Pak Matsui & Mbak Hikmah, Bu Wiwik, Mbak Hana & Mas Alifian, Pak Joni, Tim JAIST: Mbak Dian dan Pak Hasan, Mbak Niken, Candy, Bu Wiwik, Nazhif, Mas Hanhan, Mbak Anggi, Sister Riza, Sister Shaima, Sister Arsina, Erland, Gewin, Savanna, Marlou, Mayeesha, Ruma.
Allah blesses us all. Love you all <3 <3 <3
No comments:
Post a Comment