Entah bagaimana kebenaran cerita tersebut, aku mendapatinya masuk akal dan setuju dengan pesan yang disampaikan untuk tidak mempersulit orang masuk Islam dan mendapatkan hidayah. Kita manusia biasa yang tidak memiliki hak untuk menghakimi status spiritual seseorang. Apalagi dalam hal ini sangat mudah kita merasa mendapat hidayah lebih dulu kemudian merasa cukup 'senior' untuk mengajari tentang agama kepada mualaf atau orang yang baru 'hijrah'.
Bagiku, cerita itu memberi kesan yang lebih karena tepat seperti pengalaman pribadi. Aku dan suami adalah teman baik sebelum kami mulai ada rasa dan memutuskan untuk menikah. Saat itu, suami seperti pada umumnya pemuda Eropa masa kini, agama bukan lagi untuk diimani dan menikah hanyalah masalah administrasi dan keuntungan pajak. Sedangkan aku, dari kecil dibesarkan di lingkungan yang beragama dan sangat mensakralkan konstitusi pernikahan. Sehingga jelas dari awal kami tak ada niatan untuk hubungan yang lebih dari teman.
Namun mungkin karena seringnya diskusi kami mreasa banyak kecocokan dan nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Setelah mencoba banyak berdoa dan belajar lagi, akhirnya mulai kuberanikan untuk mengenalkannya dengan Islam yang kurangkum dalam tiga pertanyaan.
Dia pun mulai banyak membaca dan membaca tentang Islam atas kemauan sendiri hingga akhirnya yakin untuk berislam dan menikah. Ada dua hal yang ternyata menjadi pemantik utama untuk memutuskan dua hal yang mengubah hidupnya itu. Pertama tentang cerai dan rukun Islam.
Ketika pertama kusampaikan bahwa dalam Islam percerian sangat dibenci Allah tetapi bukan hal yang haram, ia terkejut dan bertanya lebih lanjut tentang opiniku tentang ini. Saat itu aku baru saja melewati 'titik krritis' dan berada di titik paling pasrah atas kehendak Allah, sehingga kujawab:
"Allah adalah tujuanku. Kalau aku menikah, aku ingin Allah ridha dengan pernikahanku sehingga aku hanya menikah dengan seorang muslim. Asal kamu mau terus belajar dan menjalankan rukun Islam, itu cukup bagiku untuk kita menikah. Namun jika di tengah-tengah kamu tak bisa menjalanka rukun Islam, aku tidak bermasalah dengan perceraian."
Dari diskusi tentang perceraian, membuat dia tidak takut lagi untuk menikah. Setidaknya dia tahu ada emergency exit. Ada jalan keluar yang tidak harus melanggar norma (dalam hal ini norma Islam, norma yang kupegang teguh) ketika thing doesn't work. Selain karena hal lain, poin ini (kesepakatan tentang percerian) membuat ia yakin untuk melangkah maju.
Hari itu hari Jum'at ketika dia mengutarakan keseriusannya belajar Islam lebih lanjut dan akan menikahiku. Hanya satu syarat yang diberikan orang tuaku, terus belajar untuk menjadi muslim yang kaffah, muslim yang menyeluruh. Tak ada penjelasan detail tentang bagaimana menjadi muslim kaffah, tidak pula kami bertanya karena kita sama-sama tahu bahwa menjadi muslim kaffah adalah PR semua muslim untuk terus belajar, termasuk kami yang muslim dari lahir.
Ketika Bapakku undur diri untuk Salat Jumat, tanpa kuminta dia ingin bergabung dengan Bapak untuk Salat Jumat. Tanpa gambaran apapun tentang salat dan bagaimana prosedurnya, ia hanya mengikuti apa yang dilukakan Bapak. Dari wudhu, mendengarkan khutbah yang dia tak paham bahasanya, hingga selesai salat.
Malamnya, dia dengan senang hati ikut sepupuku salat Isya di masjid dekat rumah. Sepulang dari masjid ia memintaku untuk ikut dibangunkan salat Subuh.
"Serius? Pagi banget lho?" tanyaku terkejut yang dibalas dengan anggukan mantab.
Sejak saat itu dia mencoba untuk salat lima waktu. Setelah satu pekan lamanya mencoba salat lima waktu, dia paham bagaimana sholat itu 'berat' sehingga sebagian muslim juga meninggalkannya. Namun meskipun berat, ia merasa bisa berkomitmen menjalankannya seumur hidup. Akhirnya rasanya, tak ada lagi yang ditunggu untuk menyegerakan pernikahan.
Tanpa berpusing dengan hal-hal yang sebenarnya bukan syarat dan rukun menikah, akhirnya kami memutuskan nikah siri tanpa kehadiran orang tua kedua belah pihak secara fisik. Kami bersyukur orang tua kami sangat praktis dan tidak mempersulit sehingga semua berjalan mudah dan bahkan murah.
Intinya dalam kasus kami, aku 'hanya' mensyaratkan untuk komitmen belajar menjadi muslim dengan fokus pada rukun Islam dan suami sepakat di awal. Kesepakatan ini penting dibuat di awal untuk mempermudah hidup kita ke depan terutama yang akan menikah dengan mualaf. Kepercayaan tidak dapat dipaksakan, tapi usaha untuk mendapat hidayah bisa diperjuangkan.
Pada prakteknya, memang tak mudah untuk tidak menuntut lebih: belajar ngaji, baca doa ini itu, adab ini itu, dll. Aku bahkan tidak meminta dia untuk berhenti minum alkohol, makan babi, menari, dan bentuk kesenangan dunia lain karena ingin fokus rukun Islam saja. Tapi tetap saja hati ketar ketir, tidak mau juga kalau aku punya suami makan dan minum yang diharamkan Allah.
Solusinya, tenangkan diri dan banyak berdoa pada Allah. Allah yang memberi hidayah, Allah yang Sang Pemilik Hati, mudah bagiNya untuk membolak-balikkan hati manusia.
Yep, tak mudah untuk tidak menuntut lebih. Sebaliknya kita harus terus coba fokus pada yang penting dan perbanyak memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah. Dalam hal mendampingi seorang mualaf, harus banyak bersabar dan menahan diri untuk tidak berharap tinggi. Dalam hal ini aku 'hanya' fokus pada rukun Islam.
اَللَّهُمَّ يَسِّرْ وَ لَا تُعَسِّرْ
"Ya Allah, mudahkanlah dan jangan dipersulit."
No comments:
Post a Comment