Sunday, January 2, 2022

Wahai Jarak, Enyahlah!

Long distance marriage atau lazim disingkat LDM adalah istilah untuk mendeskripsikan pasangan suami istri yang tidak tinggal bersama karena jarak fisik yang memisahkan. Ada pasangan yang melakukan LDM karena pilihan, misalnya akibat pekerjaan, dan ada juga yang terpaksa karena keadaan, misalnya akibat pandemi.

Keputusan LDM itu sendiri sudah bukan opsi ideal dan menyenangkan untuk pasangan yang sudah menikah apalagi bagi yang harus melakukannya karena terpaksa. Hal ini dapat memicu stress dan ketidakstabilan kesehatan mental. Belum lagi dengan ketidakbebasan berperjalanan karena pandemi menimbulkan perasaan terpenjara di udara terbuka. Pertanyaan “kapan bisa bertemu?” yang secara konstan terngiang seolah menjadi mimpi buruk karena tak ada jawaban pasti.

Namun, things happen with a reason. Selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap kejadian. Sebagai pengantin yang baru beberapa bulan menikah kemudian terpaksa harus dipisahkan oleh jarak karena pandemi, ada setidaknya tiga pelajaran penting yang dapat saya ambil.

Mengenal Diri Kembali sebagai Individu

Seperti layaknya pengantin baru yang lain, terutama yang proses perkenalan sebelum menikah sangat singkat, banyak adaptasi yang harus dilakukan dari kedua belah pihak. Melihat senyum bahagia pasangan merupakan kebahagiaan tersendiri. Tak jarang suami/istri berlomba untuk memenangkan hati pasangan dengan caranya masing-masing. Namun, niat baik kadang tidak dibarengi dengan tindakan yang tepat dan sangat mungkin salah diterima. Di sinilah seni berumah tangga harus dimainkan. Meskipun bahagia, memainkan salah satu peran sebagai pasangan ini terkadang sangat melelahkan dan bahkan dapat menyabotase peran lain sebagai individu, misal peran sebagai anak, sebagai pekerja, sebagai teman, dan tentu saja sebagai diri yang merdeka.

Bagi saya yang mendeklarasikan diri sebagai strong-independent-woman, kesendirian adalah salah satu bentuk kemerdekaan. Namun, LDM tetaplah menyakitkan meskipun secara bersamaan juga menjadi momen untuk slow down, pelan-pelan mengenal diri sendiri (lagi) dan mengembalikan kemesraan dengan Sang Pencipta. Mungkin Allah cemburu karena kemesraan dengan-Nya berkurang setelah menikah.

Merefleksi Kembali Tujuan Menikah

Pada awalnya, LDM adalah opsi sadar yang kami pilih untuk sementara waktu karena masing-masing dari kami harus melanjutkan studi di lain negara. Dengan kecanggihan teknologi dan kecukupan finansial, seharusnya LDM tidak menjadi soal karena sewaktu-waktu bisa saja saling berkunjung. Apa daya, baru tiga bulan menikah, pandemi melanda, sedangkan kami harus berpisah. LDM yang tadinya adalah pilihan sukarela, kini menjadi kerterpaksaan. Jepang, negara tempat saya menempuh studi, tidak mengizinkan warga asing masuk wilayahnya kecuali bagi pemegang visa tertentu. Di sisi lain, kampus di Jepang tidak mengizinkan mahasiswanya keluar dari negara.

Marah dan rasa tidak terima dengan keadaan masih mendominasi hati. Namun, akhir-akhir ini saya menyadari mungkin tujuan awal menikah, yaitu menikah untuk beribadah, telah sedikit bergeser menjadi menikah untuk bahagia bersama. Memang tak ada yang salah dengan menikah untuk bahagia bersama, tetapi definisi "bersama", terutama dengan ketiadaan jarak, harus diperluas. "Bersama" bisa lebih dimaknai sebagai konteks kesalingan; saling merasakan hal yang sama, saling mengusahakan, saling menginginkan, dan tentu saja saling mengingatkan untuk terus mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Tanpa jarak pun, kesadaran akan kesalingan harus terus diperbarui. Dalam kasus LDM, kesadaran ini semakin diuji.

Mengoptimalkan Waktu

“Menurutmu, apa yang terjadi nanti kalau jarak tak lagi membayangi?” celetuk suamiku suatu ketika. Dalam satu tahun LDM, hanya sebulan kami sempat bertemu. Kesadaran betapa sempitnya waktu bersama membuat kami tak ingin menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Sehingga ketika berargumen dan selisih pendapat, buru-buru kami fokus mencari solusi dan jalan tengah. “Waktu kita terlalu singkat hanya untuk bertengkar,” kata suamiku. Namun, jika dipikir lagi, bukankah pada dasarnya hidup di dunia ini memang sangat singkat?

Pada akhirnya, life must go on. Hidup harus tetap berlanjut apa pun kondisinya. Di tengah sempitnya hati karena kesedihan, pelaku LDM harus tetap kreatif dalam memaknai dan mensyukuri keadaan meskipun dalam hati berteriak, “Wahai jarak, tolong enyahlah! Jangan pisahkan kami!”

No comments:

Post a Comment