Di ruang tamu siang itu kami terbagi ke dalam tiga kubu. Di kubu kanan, duduk Dwi, salah satu adik lelakiku, yang malah terkikik geli ketika kulirik dengan tatapan ganas. Di sampingnya tampak Rez, adik lelakiku yang lain, senyum-senyum menanti apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan. Mei, istri Rez, yang meskipun sedang sibuk bermain dengan putrinya pun berusaha untuk tidak ketinggalan momen.
“Sssttt … heh,” sergah Ibu menyuruh Dwi berhenti terkikik. Dwi masih berusaha menahan tawa melihatku mencoba menutupi sikap malu-malu dan salah tingkah yang mungkin terlalu jelas untuk disembunyikan. Ibu dan Bapak yang duduk di kubu kiri makin tak sabar menunggu apa yang akan disampaikan si kubu tengah, aku dan lelaki yang duduk di sebelah kiriku. “Wis … gek ndang ngomong,” kata Bapak menyilakan kami berbicara setelah semua tampak siap mendengarkan.
Segera kualihkan pandang kepada lelaki yang dari tadi diam tak mengerti sepatah kata pun dari yang dibicarakan anggota keluargaku. Kuanggukkan kepala sebagai kode bahwa dia sudah dipersilakan berbicara oleh si tuan rumah yang dibalas dengan anggukan juga olehnya. Selama sepersekian detik rasanya aku ingin tertawa melihat wajahnya yang lebih pucat dari biasanya karena nervous. Untunglah aku cepat menahan diri dengan berempati jika aku di posisinya mungkin aku juga panik. Akhirnya suasana ruang tamu menjadi sunyi senyap, bahkan keponakanku yang tadi sibuk bernyanyi sendiri tiba-tiba diam.
"I wish I could say what I want to say directly, but I can't speak Javanese or Indonesian yet," kata lelaki itu akhirnya memecah keheningan. Ia menoleh lagi ke arahku sebagai kode untukku mulai menerjemahkan apa yang dia ucapkan. Dengan canggung, aku menerjemahkan kalimat pertamanya dalam bahasa Jawa kasual seperti yang biasa kugunakan untuk berbicara dengan orang tuaku. Namun, untuk kalimat-kalimat berikutnya, terjemahanku bercampur dengan bahasa Indonesia. Otakku rasanya sudah tak bisa memilah kata. Kurasakan darah naik dan memanaskan wajahku karena malu.
“Seperti yang Bapak mungkin lihat, ada hubungan lebih dari teman antara anak gadis Bapak dan saya. Kami saling suka, saling menghargai, dan meskipun sulit, kami ingin memulai hidup bersama,” kataku menerjemahkan kalimat berikutnya. Aku merasa melamar diriku sendiri.
Kalimat demi kalimat dia baca dari catatan yang dia tulis tiba-tiba tadi malam karena tak bisa tidur. Sebelumnya pada pagi hari setelah berenang di salah satu sumber mata air terkenal di Jawa Tengah, dia menunjukkan catatan itu. Aku mematung tak menemukan kata-kata untuk berkomentar selesai membaca catatan yang sebenarnya ditujukan untuk bapakku itu. Dengan memegang ponsel, media ia menulis, kuarahkan tatapan campur aduk padanya, antara bingung, senang, dan tak percaya.
“Yeah, that’s right,” katanya malu-malu seolah menjawab pertanyaanku yang tak terucap.
“Kamu mau ngomong ini semua ke bapakku?” tanyaku memastikan lagi yang dibalas dengan anggukan mantap.
“Kamu bantu terjemahkan juga, ya,” tambahnya.
Hari itu hari terakhir dari rangkaian Indonesian trip sebelum kami kembali ke negeri rantau untuk studi. Rencana berlibur ke Indonesia sudah direncanakan jauh-jauh hari. Kuundang beberapa kawan lain untuk ikut denganku pulang kampung. Namun, agaknya Sang Sutradara Kehidupan memiliki rencana-Nya sendiri. Hanya satu kawan lelakiku itu yang akhirnya bisa ikut. Selama perjalanan, kami sering berdiskusi dari hati ke hati yang ternyata menggiring lelaki itu untuk mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Tak satu pun dari kami juga menyangka bahwa enam hari dari pernyataan lamaran itu, kami mantap untuk melangsungkan akad nikah. Meskipun berada di dua belahan dunia yang berbeda, orang tua kedua belah pihak merestui anak-anaknya menikah tiga hari kemudian.
Kutatap boarding pass di tangan sambil tersenyum mengenang awal kisah kami. Enam bulan setelah akad nikah, lelaki yang kini menjadi suamiku itu harus kembali ke negaranya. Satu tahun sudah jarak memisahkan kami. Sungguh berat terasa, tetapi lagi-lagi Sang Sutradara Kehidupan punya skenario terbaik-Nya untuk mengajari kami tentang hidup.
No comments:
Post a Comment