Aku membiarkannya memelukku untuk menenangkanku yang semakin sesenggukan. Meskipun panik, ia sabar tak memberondong pertanyaan alih-alih menungguku menjawab setelah tenang. Salju di luar pun nampaknya sehati dengannya, seolah menanti jawabku.
Kubalas pelukannya sesaat kemudian. "I am very grateful for what Allah has given to me. You ... are more than what I want and need. You are the answer to my prayers. Only that Allah gave me more than what I have ever expected," kataku akhirnya. "And I couldn't hold my tears ... because of happiness and gratefulness."
Salju di luar mulai turun seiring dengan semakin erat pelukannya menambah syahdu malam itu. Baru satu pekan usia pernikahan kami saat itu. Pernikahan yang kami putuskan dalam sekejap mata seolah tanpa pikir panjang. Meskipun hampir satu tahun kenal dan berteman, tak ada kisah romantis sebelumnya hingga ia beranikan melamar langsung ke bapak, sekitar sepekan sebelum tiba-tiba menikah. Lamaran cowboy yang harus kuterjemahkan sendiri dari seorang 'kawan' dengan kaos oblong dan celana pendek kepada wali atas hidupku saat itu, sang bapak.
Banyak percakapan, diskusi, dan curahan hati selama kami berkawan yang akhirnya mengarah ke perbincangan serius tentang kemungkinan mengarungi masa depan bersama. Seperti umumnya orang barat yang tidak betul-betul meyakini agama, awalnya pernikahan bukan menjadi prioritas hidupnya. Sementara itu aku yang memilih nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup, memandang pernikahan adalah salah satu tujuan hidup (kalau bisa). Meskipun tak menisbatkan diri pada aturan agama tertentu, ada nilai-nilai yang dia pegang dalam hidup diantaranya menjadi manusia yang bermanfaat dan tidak merugikan manusia lain maupun lingkungan. Prinsip hidup yang pada dasarnya sejalan pula dengan nilai-nilai Islam yang kupegang. Namun, memilih Islam berarti memilih untuk taat dengan aturan yang ditetapkan Allah sesuai Al-Qur'an dan sunnah.
Sadar dengan keterbatasan diri tentang beragama, membuatku memutuskan untuk membatasi pada rukun Islam sebagai modal utama dalam berislam untuk melanjutkan ke proses pernikahan. Modal yang ternyata dia yakini bisa berkomitmen untuk konsisten menjalankannya seumur hidup. Syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Deal.
Maka hari itu hari Sabtu tiba-tiba ringan seolah tanpa beban kami memutuskan untuk menikah dalam tiga hari. Tanpa kehadiran orang tua kedua belah pihak secara fisik maupun persiapan dokumen. Orang bilang nikah siri. Tak masalah bagi kami, yang penting sah dulu menurut agama, baru dokumen sah diurus.
Pernikahan sah secara Islam sudah cukup bagi kami saat itu. Dorongan untuk selalu bersama menguat sejak beberapa pekan lalu ketika perjalanan ke Indonesia dimulai. Restu orang tua kedua belah pihak yang langsung kami dapat hampir tanpa pertanyaan menjadi penguat seolah memang ini jalannya.
Bapak yang tak bisa berbahasa Inggris dan mempelai pria yang belum bisa berbahasa Indonesia maupun Arab, membuat pernikahan cowboy itu dipercayakan kepada ketua asosiasi muslim setempat, Pak Matsui. Bapak menyerahkan anak pertama dan perempuan satu-satunya kepada Pak Matsui untuk menyampaikan kalimat ijab yang mengalihkan tanggung jawab besar atas diri.
Ketika kalimat qobul telah terucap setelah ijab disusul konfirmasi pengesahan dari para saksi, status baru sebagai suami istri sudah sah menurut Islam. Seperti kebanyakan pasangan yang baru menikah, satu menit itu mengharukan batin. Perlu beberapa menit bagi otak kami untuk memproses informasi baru tersebut. Aku refleks hampir menarik tangan ketika untuk pertama kalinya ia memegang tanganku. Otakku membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengenali rasa yang baru hingga beberapa waktu kemudian hatiku mulai berdegub lebih kencang dan kubalas pegangan tangannya. Dari sanalah kisah romansa itu di mulai.
Anehnya, kehadirannya tak terasa asing bagiku yang sebelumnya tak pernah dekat dengan lelaki. Memang pada awalnya ada rasa canggung dan malu untuk bersalaman dan mengecup tangannya. Tapi itu karena malu ditonton banyak orang. "I thought I would be shy or awkward in the beginning, but I just feel comfortable with you," kataku yang keheranan dengan diriku sendiri. Apakah ini yang disebut jodoh?
Aku yang terbiasa mandiri dan melakukan apa pun sendiri tak terbiasa menerima perhatian sebesar dan seintens itu. Tak pernah kusangka ada orang yang begitu perhatian dan membuatku merasa benar-benar dicintai. Caranya melihat dan memperlakukanku, membuatku merasa menjadi wanita paling cantik di dunia ini.
"I never felt pretty until I married him and see how he treated me," testimoniku kepada seorang kawan yang malah fokus dengan my insecurity. "Wait. What? You never felt pretty? You ARE pretty!"
Dibesarkan dengan dua saudara laki-laki, kuliah dan bekerja di bidang yang kebanyakan laki-laki, ditambah dengan karakter khas anak pertama yang keras dan berprinsip, meyakinkanku bahwa cantik dan menarik jauh dari labelku. Keyakinan itu seolah divalidasi dengan tak adanya lelaki yang berani 'mendekat'. Di samping itu aku sangat pandai secara insting membuat lelaki yang nampaknya agak tertarik padaku mundur perlahan tapi pasti. Tanpa disadari hal itu membentuk alam bawah sadarku untuk menerima bahwa memang tak ada manusia yang mau memperjuangkan dan mencintaiku kecuali Allah dan diriku sendiri.
Memasuki tahun ketiga pernikahan, syukurku tak henti-henti atas karunia Allah dengan pernikahan ini. Pernikahan yang kami tentram berada di dalamnya.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [QS. Ar Rum: 21].
Dua individu yang berbeda tak ayal ada saat ketika perbedaan argumentasi tentang pendapat, cara pandang, dan bahkan faham mencuat. Tak jarang pula perbedaan cara komunikasi dan mengekspresikan sesuatu menimbulkan kesalahpahaman. Namun, atas izin Allah, kami selalu diingatkan kembali bahwa tujuan pernikahan kami adalah untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam ketentraman bersama di dunia dan di syurgaNya.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar
“Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. al-Baqarah : 201).
Ishikawa, 8/3/2022
No comments:
Post a Comment