Saturday, October 15, 2016

Hijrahku bukan Mekah-Madinah

Lokasi: Wahana "Jaws" di Universal Studio Japan

Akhir-akhir ini sering mendengar kata hijrah. Kalau kita search tentang hijrah, pada dasarnya hijrah adalah perjalanan Rasulullah Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian beliau ganti nama menjadi Madinah. Move on ini adalah titik balik setelah 13 tahun awal dakwah Rasulullah mengalami tantangan baik fisik maupun psikis dari masyarakat Mekah. Tidak seperti di Mekah, di Madinah Islam sangat diterima dan orang-orang memuliakan Rasulullah sebagai seorang Nabi dan Rasul dan teladan dalam setiap aspek kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan, rasanya makna hijrah semakin luas. Entah benar atau tidak, sepertinya di Indonesia sekarang orang memaknai hijrah adalah segala macam move on. Umumnya dari move on dari yang tadinya jauh dari Islam ke yang lebih dekat dengan Islam. Yang tadinya tidak pakai jilbab, sekarang hijrah jadi pakai jilbab, rutin datang ke pengajian, lebih serius belajar Islam dan lain-lain. Secara fisik, bahkan pindah rumah pun orang bisa mengatakan itu hijrah. 
OK deh. Fix. Kalau gitu aku juga mau memaknai kepindahanku ke Jepang yang tujuan utamanya adalah melanjutkan studi sebagai hijrah juga.
Jepang adalah salah satu negara yang masuk dalam bucket list sejak jaman aku masih muda (emangnya sekarang tua? ya tuaan dikit laah). Setelah sekian lama hampir menjamur dalam daftar, akhirnya impian tersebut tercapai juga, sehingga alhamdulillah per 3 April 2015 raga ini fix hijrah secara fisik dari bumi pertiwi Indonesia ke Nihon. Sesampainya di negri impian, ternyata tidak hanya raga yang hijrah. Lebih dari itu jiwa dan pikiran pun harus menyesuaikan. Sepertinya hijrahnya Rasulullah dan para sahabat, hijrah telah memberikan banyak perubahan pada diri. Sifat-sifat manusiawi kaum muhajirin pun rata-rata sama. Salah satunya Homesick. Para sahabat pun merasakan homesick yang luar biasa terhadap tanah kelahirannya, Mekah. Kerinduan yang sangat terhadap sanak keluarga yang ditinggalkan pun tetap ada. Itu pula yang kurasakan pada tahun pertama kepindahanku. Rindu yang amat sangat dengan orang tua, saudara-saudara kandung yang sebelumnya kalau ketemu hampir selalu berantem, teman-teman yang enak buat nyampah seenak jidat, bahkan rindu juga dengan makanan dan segala aktivitas yang unik di kampung yang tidak pernah ditemui di negri rantau. Datang seorang diri dengan modal hutang, tak punya uang, tak ada teman, bekal ilmu yang sangat minim, tak ada bekal bahasa. Rasanya waktu itu memang hanya nekat modal paling besar yang aku punya.
Dulu, beberapa bulan sebelum berangkat merantau, sempat curhat dengan murobiah tentang kosongnya hati. Rasanya sudah cukup lama bergabung dalam organisasi dakwah, tak kenapa 'ruh yang dicari' belum terasa kedatangannya. Rasanya selama itu aktivitas dakwah hanya fisik. Rasanya kajian-kajian yang diikuti pun belum pernah cukup untuk mengenal Allah, apalagi untuk memaknai hidup. Sampai pada titik itu pikiranku sudah mulai agak-agak filsuf. Mulai mikir aku hidup untuk apa, untuk siapa, dan bagaimana. 
Hidup bahagia, mati khusnul khatimah, masuk surga tanpa mampir ke neraka.  
Siapa juga yang tidak mau seperti itu. Tapi bagaimana cara untuk mencapai cita-cita itu? 'Ruh yang dicari' itu belum juga datang. Seabrek aktivitas dan kajian terasa masih jauh untuk mendapatkan 'ruh yang dicari' yaitu hidayah. Ya, kita sebut saja hidayah.
Menanggapi keluhanku, Sang Murobi pun ringan mengomentari, "Bisa jadi hidayahmu nanti malah kamu dapat di Jepang, di mana muslim menjadi minoritas." Dan aku pun hanya berucap, "Aamiin. InsyaaAllah".
Dan benar saja, dengan segala ke-alpha-an yang aku miliki di tanah rantau hanya satu kekuatan yang aku yakin kupunya. Satu Kekuatan yang secara kasat mata orang bisa bilang itu nekat dan kuat. Allah. Kurasakan hijrah yang sebenarnya. Ketika membaca sirah tentang hijrah, seolah-olah kita aku ikut pula dalam barisan hijrah itu. That's what I feel!! Memang aku bukan pujangga yang pandai merangkai kata (malah nyanyi :3), saat ini  aku belum bisa menuliskan apa yang benar-benar kurasa sampai berani bilang merasakan hijrah yang sebenarnya. Aku rasakan 'ruh yang dicari' itu. Gelora itu. Semangat itu. Hidayah itu.
Ya, kadang kala hidayah itu harus dikejar. Dikerjar hingga kadang harus memaksa kita keluar dari zona nyaman dan aman. Dengan Hijrah, harapannya ada masa depan yang lebih baik di sana. Manusia cukuplah hanya berdoa, ikhtiar dan tawakkal. Selanjutnya apa yang benar-benar di depan mata hanya Allah lah yang menentukan. Namun hijrah jugalah salah satu ikhtiar yang apapun dan bagaimanapun harus diawali dengan niat lillahita'ala.
Rute hijrahku memang bukan Mekah-Madinah. Tapi aku sangat berharap hikmah kemuliaan Islam bisa diraih seperti hijrahnya Para Sahabat. Indonesia-Jepang lah episode hijrah yang saat ini sedang kujalani. Entah apa yang terjadi di masa depan aku pun belum tahu. Akankah Indonesia-Jepang adalah hijrah yang terakhir? Tapi semoga masih ada episode hijrah yang lain. Apapun itu semoga setiap langkah yang kita tempuh senantiasa mendekatkan diri kepada Illahi.

Aamiin....

2 comments:

  1. Jadi kamu rindu nyampah padaku? Ecie cie..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai tempat sampah!
      Tidak semua orang mendapat posisi mulia sebagai tempat sampahku loh :)) :)) :))

      Delete