Saturday, October 5, 2013

[The Iseng Story] - Orang Udik Pergi ke Kota (part 1)

UTOPIA. pict by Farida Arum
Ini adalah kisah seorang anak udik yang selama 23 tahun hidupnya ia habiskan di 3 kota yang aman, nyaman, damai, tentram, ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi. Sebut saja namanya melati.

Berawal dari sebuah keputusan dari atasan di kantornya di Yogyakarta, bahwa ia harus pergi ke Jakarta selama 7 hari untuk sebuah perjalanan dinas. Naik pesawat. WOW! Si melati ini seumur-umur belum pernah naik burung besi macam itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ia harus berangkat SENDIRI karena teman-teman satu tim sudah berangkat lebih dulu di hari sebelumnya. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana nasibnya si Melati ini nanti? Jangan dibayangkan, karena aku akan menceritakannya padamu. Tapi sebelumnya mohon maaf kalau cara berceritaku kurang oke. Yah.. sejatinya memang aku bukan tukang ketik. ohohoo...

O iya, sebelum mulai perjalanan, ada informasi yang sangat amat penting untuk kau ketahui. Jadi si Melati ini kehabisan tiket pesawat untuk keberangkatan pada hari yang dijadwalkan, jadi ia berangkat pada hari berikutnya. Itu artinya, lama perjalanan dinasnya adalah 6 hari, bukan 7 hari lagi. Udah, itu aja informasinya. Penting banget kan? Iya dong.

Baiklah, aku mulai ya cerita tentang si Melati ini.

Hari Pertama
Berbekal print out e-tiket yang telah dipesankan oleh teman kantor dan beberapa uang jatah perjalanan dinas di tas, si melati berangkat ke bandara Adi Sucipto Yogyakarta kira-kira pukul 5.35 dari kost dengan diantar teman seperguruannya, sebut saja namanya Asih. Dengan kecepatan yang sedang-sedang saja, sambil ngobrol ngalor ngidul sepanjang perjalanan, Melati dan Asih tiba di bandara kira-kira pukul 6.45. Luar biasa. Hanya dalam waktu +-10 menit dengan kecepatan sedang (iya lah, sampai ngobrol gitu) bisa menempuh jarak..... mmmm...... berapa kilo ya.... mmmm ya pokoknya agak jauh lah. So, itu yang akan segera dirindukan Melati nanti ketika sudah sampai di Jakarta.



Di Bandara
Setelah berpisah dengan Asih, Melati langsung menuju ke sebuah loket yang ada Pak Satpamnya yang di belakangnya ada plang kuning kira-kira bertuliskan "Batas Pengantar" "Keberangkatan". Setelah masuk, berdasarkan petunjuk yang Melati dapatkan dari teman kantornya, ia harus mengantri sesuai tiket yang ia bawa, sehingga si orang udik ini harus mengantri di loket "singa" jurusan Jakarta.

Kekonyolan dimulai di sini. Melati antri di belakang seorang bapak-bapak sekitar umur 60an. Si Bapak ini mengantri sembari streching dikit-dikit mungkin untuk meregangkan otot-ototnya yang mulai tua. Semenit dua menit tiga menit Melati sabar mengantri di belakang si Bapak. Memasuki menit ke 5-10 si Melati mulai tak sabar karena antrian SAMA SEKALI tidak maju. Satu senti pun. Beruntung ada mbak-mbak petugas baik hati yang menginfokan bahwa penerbangan Singa jurusan Jakarta bisa dibantu di loket sebelahnya. Langsung saja kesempatan itu disambut manis oleh si melati yang mulai kesemutan.

Di antrian yang baru, percepatan 'kemajuan' antrian berjalan lancar jaya. Maju teruuus... Dari antrian baru itu melati mengamati antrian sebelumnya, keanehan pun tampak. Ternyata si Bapak memang tidak akan maju sampai kapan pun. Entah apa sebabnya, pokokknya si bapak memang tidak maju ketika antrian di depannya semakin maju semakin maju, saking banyaknya ruang kosong antara si bapak dengan antrian di depannya, akhirnya orang-orang di belakang si bapak maju melewati si bapak. Fiuh, melati lega bukan main, ia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya kalau ia tetap di antrian lama karena melati bukan tipe yang suka menerobos antrian, selain itu ia mungkin tak akan tahu orang lain melompati antrian karena si bapak itu tinggi sekali dan si Melati juga bukan tipe yang suka tengok-tengok terlalu jauh.

Saat kurang beberapa orang lagi di depan antrian, Melati sempatkan diri untuk menengok antrian sebelumnya, dan terkejutlah ia si Bapak sudah tidak ada. Tak tahu juga kemana perginya si Bapak, dan Melati tidak mau tahu. Bagaimana pun, antrian harus tetap berjalan kan?

Baik segera kita percepat kisah tentang antrian, aku juga mulai bosan mengetik untuk adegan mengantri. Singkatnya, Melati sudah selesai antri dan mendapat Boarding Pass beserta nomor bagasi. Kemudian segera masuk ke ruang tunggu dengan sebelumnya membayar Rp35.000.
Menit-menit berlalu hingga nomor penerbangan di tiket Melati disebut. Akhirnya dengan perasaan membuncah Melati bergegas menuju teknologi burung besi yang sebelum ini hanya bisa ia bayangkan. Tangga demi tangganya ia sangat nikmati hingga kekonyolan kedua menanti.


Di Dalam Pesawat
Ketika sudah di dalam badan pesawat, Melati segera duduk di tempat sepertinya menarik. Pilihannya jatuh di sebuah kursi dekat jendela yang kalau ia perhatikan sebenarnya itu kursi nomor 7F. Duduklah ia di kursi 7F. Foto-foto dulu dong pemandandangan sebelum keberangkatan. Selesai foto-foto Melati mulai mengamati ternyata beberapa orang masuk dengan melihat boarding pass-nya kemudian menengok ke atas bahkan ada beberapa orang yang sampai menujukkan boarding pass-nya ke mbak pramugari. Segera saja si Melati menengok ke boarding pass-nya. Ternyata ada tulisan "SEAT : 16B".
Dibalik jendela buram kursi 7F
Ow ow ow ow.... Si Melati ternyata salahhh, Sodara-sodaraaaa... Pun segera saja ia berdiri dan pindah tempat, untuk meng-absah-kan kekeliruannya ia tunjukkan dulu boarding pass nya ke mbak pramugari. "Pinter" bener ni Melati semakin mempermalukan diri sendiri.
Akhirnya sampailah ia di jajaran kursi no 16 dan lagi-lagi ia tak perhatikan dengan seksama nomor-nomor kursinya. Bukannya duduk di 16B, si Anak Udik malah duduk di kursi 16F (sakingnya pengen dekat jendela) yang baru disadari kekeliruannya setelah ada sepasang suami istri bertanya
"Adek nomor kursi berapa?"
"16B"
"ooh Adek salah.. 16B di situ," kata si Istri menunjuk ke kursi sebelah, "Ini ada nomornya, yang Adek duduk itu 16F"

Tengsin... Helooooooo Melatiiii..... di sekolah ga diajari baca nomor kursi ya #sigh
Akhirnya untuk kedua kali Melati pindah tempat dulu.
Baiklah. Selesai lah kekonyolan kedua. Kekonyolan ketiga akan berlanjut nanti ketika sudah sampai jakarta karena hal berikutnya yang terjadi di pesawat adalah menikmati perjalan, terutama saat take off dan landing. Melati sangat suka dengan sensasinya, terutama "sensasi kuping", sensasi yang sama ketika traveling ke pegunungan dengan mobil berkecepatan lumayan agak cepat, yaitu darah kita seperti masih tertinggal di bawah dan kuping sesaat seperti "budheg" alias tuli. Mungkin sensasi-sensasi tersebut membuat mual sebagian orang, tapi Melati suka itu. Selain sensasi take off dan landing, waktu hanya dihabiskan Melati untuk membaca buku sambil sesekali melihat pemandangan luar.
Oh iya, saat naik pesawat itu Melati menemukan kebohongan besar orang-orang yang selama ini ia tanya "gimana sih rasanya naik pesawat"
dan kemudian dijawab "biasa aja kayak naik bis".
Huh, ternyata selama ini ia dibohongi, siapa bilang naik pesawat seperti naik bisa. Beda laaah... naik bis atau mobil ga bisa baca dengan tenang..... terutama kalau jalannya g rata. hehee...

Sampai di bandara Melati berjalan menuju keluar dengan sebelumnya mampir mengambil tas yang ada tadi dititipkan di bagasi. Setelah menunggu tas miliknya cukup lama, Melati segera keluar dan mengubungi supir taxi yang sudah ia pesan hari sebelumnya. Sopir ini langganan beberapa teman kantor kalau sedang dinas ke Jakarta. Berhubung mereka tahu Melati belum pernah ke Jakarta sebelumnya, maka lebih amannya ia diberi no telp pribadi sopir taxi itu.

"Halo Pak, saya sudah di luar ni Pak," kata Melati pada Pak Supir via telp.

"Sebentar mbak, saya masih di pintu tol, mungkin 5 menit lagi"

"Ya Pak, Bapak taxinya warnanya apa?"

Jadi ceritanya ini Melati lupa nanya ke temannya itu sopir taxi apa.
"Taxi nya hitam mbak"

"Hitam?" Oh kupikir biru,batin Melati. 

"Iya hitam"

"Oh oke Pak"

Menit menit berlalu, Melati menunggu pak sopir dengan sabar tapi pak sopir belum juga kelihatan. Eh jangan-jangan pak sopir ga punya pulsa? Segera saja Melati melayangkan sebuah pesan singkat.

Pak, batrei hp saya mau habis ini. Saya pakai krudung biru duduk didepan XXXX

Tak lama setelah pesan terkirim ada seorang bapak datang dan itu lah pak sopirnya dan segera saja Melati menuju taxi si bapak yang ketika ia baca tanda di atas mobilnya bertuliskan "Silver".

Tanpa mencurigai sesuatun pun Melati masuk ke taxi. Hmmm... taxinya bagus. Interiornya oke. Nyaman. Dan taxi pun mulai melaju.

The Elegant taxi
Namanya Pak Nuris. Dilihat dari ID di taxi sebenarnya namanya Nurxxxxx, berdasar pengakuan si Bapak, ia dipanggil Nuris karena miskin, Nur miskin = nuris. Di sepanjang perjalanan Melati ngobrol ngalor ngidul sama Pak Nuris hingga akhirnya Pak Nuris tanya beberapa hal sensitif. Mengenai keuangan.

"Kalau dinas gini yang bayarin siapa"
"Gajinya berapa"
"Sampai 2 juta ga"
Yang semua itu dijawab dengan diplomatis oleh Melati. Karena jalanan macet dan melati mulai bosan, iseng ia tengok nominal di argo. Tampak angka 103600.

"Masih jauh Pak?" tanya Melati.

"Wah masiiiiiiiiiiiiiih," jawab Pak Nuris.
Berhubung selema ini Melati tidak pernah membayar taxi sendiri (karena seringnya dibayarin kalau naik taxi) Melati tidak tahu standar harga taxi. Tapi ia tahu nominal yang ada di argo Pak Nuris ini tidak wajar. Mulai lah ia khawatir.

Si Bapak tiba-tiba bertanya, "Pernah naik mercedes mbak?"

"Pernah dong," jawab Melati berlagak pongah.

"Yang kayak gini??"

"Yang roda 8 Pak. Bis. Hahaa"

Tapi dari percakapan itu sadarlah si Melati. Bahwa ia memang sedang tidak naik taxi normal. Dulu di desa ia pernah dengar di Jakarta mulai ada yang pakai mobil mewah untuk taxi, tentu saja argonya sedikit beda. Dan sekarang, tanpa diduga sebelumnya ia bakal benar-benar berada di dalamnya.

Pantas saja warnanya hitam. Sebenarnya Melati memang sudah menduga Pak Nuris ini burung biru tanpa harus bertanya, tapi tadi saat di bandara ia hanya memastikan warna taxinya, siapa tahu warna taxinya berubah. Dan benar saja, bukan biru tapi hitam. Dan saat itu Melati tidak curiga. Pinternyaa ni anak... #jitak

Pantas saja tadi Pak Sopir tanya-tanya soal gaji segala macam berkaitan dengan materi.
Pantas saja ketika ditanya "masih jauh tidak" jawabnya agak lebay dengan "i" yang panjang. "Masiiiiih"

--to be continued--







4 comments: