Tuesday, July 6, 2021

Yang-Tak-Dinanti yang Selalu Menanti

 

Dua pekan yang lalu Dwi tiba-tiba mengirimkan pesan langsung di instagram. Dwi yang jarang mengakses instagram, qadaruallah, saat itu iseng membukanya dan langsung menemukan storyku di list pertama. Padahal sudah jarang juga aku posting posting di instagram. 


Pi, wis krungu kabar suamine Mbak Rima?” Sudah dengar kabar dari suaminya Mbak Rima?


Alih-alih langsung membalas pesan di instagram, segera kuhubungi Dwi dari nomor WhatsApp baruku yang memang tak banyak orang tahu. 


“Wi, soko kene wae. Iki nomerku sing anyar.” Lewat sini aja. Ini nomor baruku.


“Saiki selo ra? Telponan wae iso?” Sekarang luang tidak? Telepon saja bisa? 


Selain pensaran dengan berita yang akan disampaikan Dwi, sudah lama juga aku tidak kontak dengan kawan-kawan lamaku termasuk  Dwi dan mbak Rima. Dulu saat kuliah kami tinggal bersama, belajar bersama, berkegiatan yang sama. Namun setelah lulus kuliah, kami menjalani nasib hidup kita masing-masing, sibuk dengan dunia dan lingkaran pertemanan baru lengkap dengan tantangannya masing-masing.


“Iso, Pi” Bisa.


Di telepon, Dwi menyampaikan kabar duka tentang suami Mbak Rima.

Sependek yang Dwi tahu, kejadiannya cukup mendadak dan tak disangka-sangka. Suami Mbak Rima meninggal di tempat kerja di hari Jumat dalam keadaan berpuasa. Mbak Rima sempat tidak percaya ketika mendengar kabar itu pertama kali karena sang suami pamit bekerja dalam keadaan segar bugar. 


Aku tak tahu harus berkomentar apa. Di antara kami, Mbak Rima yang paling tua dan paling jarang curhat atau ngobrol tak jelas. Jadi secara emosional aku memang tidak dekat dengan Mbak Rima. Tapi tak kusangka, berita meninggalnya suami Mbak Rima membuatku sangat sedih dan termenung cukup lama. Aku seolah merasa bagaima jika berada di posisi Mbak Rima. Tak terasa air mataku meleleh. 


“Wi, aku minta nomor Mbak Rima ya.”


Aku belum tahu apa yang akan kukatakan kepada Mbak Rima. Kalau dengan Dwi saja sudah 6 tahun aku sama sekali tak bertatap muka, dengan Mbak Rima lebih lagi. Sejak beliau menikah sekitar 8 tahun lalu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya atau bahkan hanya bertukar kabar. Namun, aku kabar ini cukup menyesakkan dadaku. Jadi kupikir, meskipun mungkin tak membantu, setidaknya aku akan mengirimkan pesan singkat ikut berbelasungkawa. Selain itu, hanya doa yang bisa kulakukan.


Obrolanku dengan Dwi berlanjut satu jam kemudian tentang update terbaru kehidupan kita masing-masing dan tentu saja kabar yang kita tahu tentang kawan-kawan kita saat kuliah. Diantara kabar-kabar itu, ada beberapa kabar yang cukup mengejutkan terutama tentang perceraian yang dialami beberapa kawan kami. Seitdaknya ada tiga nama yang tersebut. Kami coba sangat berhati-hati agar perbincangan kami tidak jatuh pada ghiibah. Jadi kami mencoba fokus pada fenomenanya dan apa yang bisa kita ambil pelajaran darinya karena aku dan Dwi sama-sama pengantin baru yang masih sangat miskin ilmu dan pengalaman tentang pernikahan.


Kami menutup perbincangan ketika Suami Dwi kembali dari kerja. “Wis sik ya, Pi. Bojoku wis balik ki. Kapan-kapan sambung meneh ya.” Udah dulu ya. Suamiku sudah balik nih. Lain waktu kita sambung lagi.



Ting!


Sebuah pesan masuk ke pesang langsung instagram. Dari seorang adik tingkat di kampusku dulu yang kami tak pernah bertemu. Awalnya dia menghubungiku karena melihat videoku untuk welcoming anggota baru organisasi kemahasiswaan yang dulu aku aktif di dalamnya. Kemarin, akhirnya untuk pertama kali kami video call membahas tentang pengalamanku meraih mimpi. 


Setelah perbincangan panjang, belakangan kami tahu kalau kami dulu juga aktif di orgnisasi yang sama juga ketika SMA di daerah lain. Kami pun menyebutkan satu per satu kawan-kawan yang mungkin sama-sama dikenal. 


 “Mbak, tahu kabarnya almarhumah mbak Ema?”


“Ema siapa? Bukan Ema khoirotunnisa kan?” tanyaku kaget tapi mulai sedikit ada perasaan tak enak.


“Iya, Mbak Ema yang itu.”


Innalillahi wa innailaihi rojiun.  Sepersekian detik aku sempat tak bisa berpikir. Berusaha mencerna berita ini.


Ting!


“Sudah sejak tanggal 7 Maret lalu, Mbak.” Sudah lebih dari sebulan yang lalu. Kulihat tautan post instagram yang dia kirim. Aku merasa tidak asing dengan foto ini. Ya, aku yakin melihat aku memang sempat melihat postingan ini, tapi aku tidak baca detail dan tak terbersit sekalipun itu adalah poster pengumuman berita duka. 


Beliau sakit-sakitan mabk. Sebelum meninggal beliau sering posting di facebook.”


Ya Rabb….  Ya, sesekali kubuka facebook dan memang ku melihat waktu itu Mbak Ema cukup aktif menulis status. Dan rasanya itu baru kemarin. Jadi ketika pertama melihat gambar berita duka itu aku pikir itu hanya poster kegiatan biasa. 


Ya Rabb.. Ya Rabb… Aku masih sulit percaya. Dua tahun lalu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Mbak Ema di sebuah acara. Ternyata itu pertemuan terakhir kami di dunia yang fana ini. 


Segera kukirimkan pesan belasungkawa kepada adik Mbak Ema yang juga kawan satu angkatan di organisasi yang sama. Aku meminta maaf atas ketidaktahunanku tentang berita itu. Adik Mbak Ema maklum dan meminta maaf juga karena belum bisa menceritakan bagaimana kejadiannya. 


“Kalau mau tahu gimana kejadiannya. Lihat di facbook aja ya. Banyak yang cerita di sana. Aku ga kuat ceritanya.”


Aku paham dan aku tahu siapa orang yang tepat untuk ditanyai. Segera kuhubungi Mbak Ana. Cerita pun mengalir darinya. Selama Mbak Ana bercerita, tak hentinya air mataku mengalir. Mbak Ana dan Mbak Ema adalah kakak kelasku saat SMA terpaut beda dua tahun. Sejak SMA, Mbak Ema, Mbak Ana dan beberapa mbak mbak lain selalu kompak sampai sekarang. Mereka ini senior-senior favoritku. Aku banyak belajar dari melihat mereka terutama dengan keteguhuan dan konsistensi mereka memperjuangkan apa yang saat ini mereka perjuangkan di saat yang lain, termasuk aku, pergi karena memperjuangkan masa depan yang lain yang dirasa lebih menguntungkan.


“Ema meninggal setelah membaca beberapa ayat Al-Qur’an dalam pangkuan ibunya tepat ketika ibunya selesai mengatakan, ‘Ma, Ibu sudah ikhlas’.”


Aku masih belum bisa mengatakan sepatah kata tanpa pecah tangis. 


“Sudah, Dek. Doakan saja Mbak Ema khusnul khotimah dan aku jadi saksi akhir hidup Ema yang sungguh Indah. Tenang…. Cantik… Tugas Mbak Ema di dunia sudah selesai. Sekarang tinggal kita, Dek. Semoga akhir kita juga indah ya.”


Mbak Ana menungguku menyelesaikan tangisku sebelum akhirnya kami mengganti topik pembicaraan yang berakhir hampir dua jam. Selesai telepon, mataku masih mengawang dan tak bisa tidur meskipun sudah lewat tengah malam. Kematian. Maut. Hal yang tak dinanti tapi ianya selalu menanti. Tak ada seorang makhluk pun  tahu kapan dan bagaimana menghampiri. Tua muda tiada peduli. Baik suami Mbak Rima maupun Mbak Ema,  menurut beberapa saksi, menghadapi hari-hari akhirnya dengan indah. Bagaimana dengan kami?

No comments:

Post a Comment