Sunday, July 4, 2021

Ketika Ideologimu Diuji - Being Superficial



"Nganggo klambi bebas opo wae sing penting kowe nyaman."  Pakai baju apa saja bebas asal kamu nyaman. 

"Nek nyandang sak mampune. Ra perlu nyandang larang-larang mung pengen ketok WAH." Bepernampilanlah sesuai kemampuan. Tidak perlu berpenampilan mahal hanya untuk tampil WAH.

Kurang lebih itu doktrin ibuku sehingga menjelmalah diri menjadi manusia yang tak ngeh tentang mode. Penampilan selalu asal. Yang penting nyaman. Saking nyamanya, tidak pernah terbesit untuk memahami estetika dalam berpakaian. Sering dibilang juga oleh kawan-kawan untuk lebih sedikit memperhatikan penampilan. Tapi, mana kudengar.... Sebaliknya, aku sangat bangga dengan ke-whatever-an ku malah merasa kasihan dengan mereka-mereka yang terlalu rempong dengan penampilannya. Aku harap semua wanita juga fokus dengan aktualisasi diri lainnya. Di sisi lain, aku sengaja berpenampilan sangat apa adanya karena diantaranya aku ingin menyeleksi calon suami. hahaha.... Selain karena memang malas dandan dan pusing dengan penampilan, aku ingin calon suamiku kelak memilihku pertama-tama bukan karena penampilan fisik.

Singkatnya, I was happily living in my ideology. Namun, seiring bertambahnya umur, ada masanya ideologi diuji. Dalam hal ini, ketika aku di Jepang. Sedikit demi sedikit pandanganku mulai berubah karena aku di lingkungan yang sama sekali berubah. Di Indonesia, aku merasa, saat itu, banyak orang yang berpandangan sama denganku, bahwa bersih dan rapi saja cukup. Tapi sejak di Jepang aku menyadari value yang baru dalam berpenampilan. Keindahan.

Di Jepang, aku melihat orang-orang sangat stylish. Bahkan nenek-nenek sekalipun masih kece dengan mix match bajunya, warna warni rambutnya, dan make up. Saat itu aku belum terlalu 'mengaca' pada diri sendiri. Namun, ketika berkumpul dengan orang-orang Indonesia lain aku kemudian menyadari 'seberbeda itu' penampakan kita. Baru lah aku 'mengaca'. Ketidak-percayaan diri terhadap penampilan mulai muncul.  

"Kita ini jadi minoritas di Jepang. Kita pakai kerudung. Mau tidak mau, kita ini representasi dari Islam itu," kata salah seorang tetangga Indonesiaku. Aku paham maksudnya. Di tengah-tengah lingkungan yang serba 'cantik' ini, penampilanku yang terlalu apa adanya, ditambah dengan jerawat yang tak terkontrol, terlihat sangat kontras dan tidak menarik. 

Ketidak-percayadirian itu  semakin menjadi karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ideologiku tentang penampilan yang sudah mulai terkoyak dengan lingkungan baru yang serba superficial, di tahun kedua dan ketiga, ianya semakin kecil tak berdaya karena, entah-bagaimana-caranya, aku jatuh hati pada seseorang lelaki pemuja penampilan. Selama ini aku selalu berpikir pasti ada lelaki yang tidak akan memilih wanita hanya karena penampilannya. Mungkin memang tidak ada yang salah dengan pemikiran itu. Memang banyak lelaki yang memilih wanita sebagai istrinya hanya karena penampilan. Namun aku lupa, bahwa biar bagaimana pun, apa yang nampak pertama kali, alias first impression, adalah faktor yang cukup membentuk persepsi dan perasaan berikutnya. Aku cukup yakin di antara kawan-kasan lelakiku, banyak yang nyaman denganku sebagai teman dan hanya teman. I'm not quite wife-material atau sekedar not their cup-of-tea. Itu saja.

Sebelum ini aku memandang rendah orang-orang yang menilai seseorang dari penampilannya. Tapi pada kenyataanya, ternyata tanpa kusadari, aku juga punya tendensi untuk mempertimbangkan itu. Ternyata, aku pun punya 'tipe' yang aku sukai. Tentu dalam memilih jodoh, kita harus melihat beyond penampilan fisik. Tapi realita pada diriku yang baru kusadari adalah, kalau aku punya pilihan, diantara orang-orang yang baik yang aku nyaman berdiskusi dengannya, jika ada yang secara penampilan fisik adalah 'tipeku', tentu aku akan pilih yang tampilannya lebih my cup-of-tea. Begitu juga dengan lelaki itu. Aku tahu diri kenapa dia-yang-namanya-takboleh-disebut tidak akan memilihku. Menurutku, itu karena dia punya 'beberapa' pilihan. 

Kejadian itu benar-benar menamparku pada kenyataan bahwa, bersih dan rapi saja tidak cukup. Kamu juga harus indah. Namun apa itu keindahan? Apa itu standar keindahan? standar kecantikan? Akhirnya aku mulai benar-benar meruntuhkan ego untuk tidak menjadi budak penampilan. I started to be superficial even though I am not comfortable. Aku sudah mengacuhkan ajaran ibuku untuk hanya berpakaian yang kita nyaman. Prioritasku sudah berubah, bagaimana harus berpenampilan menarik dan cantik setidaknya menurut standar di lingkunganku. Itu lah masa ketika aku mulai merubah penampilan. 

Beberapa teman heran melihat penampilan baruku. Mereka tidak menyangka aku akan jadi seperti itu. Tapi teman-teman dekatku, yang jumlahnya bisa dihitung jari, tidak terlalu mempersoalkan perubahan luar itu karena bagi mereka tahu proses apa yang sedang kualami. Ya.. mereka tahu kalau aku jelas-jelas ada perubahan, tapi mereka ada di sana di tengah kegaluaanku, di persimpangan jalan kehidupanku, hingga aku akhirnya memutuskan sesuatu. Jadi ya...paham aja.

Sekitar satu hingga dua tahun aku terlalu fokus dengan penampilan. Akhirnya aku sadar ada yang mulai hilang dari diri ini. Aku merasa kosong. Otak ini kosong. Aku mulai malas memikirkan hal-hal 'berat'. Aku baru sadar ini ketika aku melihat beberapa temanku di sosial media membahas hal-hal yang tidak superficial. Pembahasan tentang pendidikan di Indonesia, tentang penyelamatan lingkungan, isu-isu politik dan sosbud, dll sama sekali tak menarik bagiku. Dan justru karena ketidaktertarikan itulah yang menamparku. Jiwaku mulai meronta! Otakku yang sudah lama kujejali dengan serba serbi superficial mulai kerontang kekurangan asupan gizi lain. Akhirnya, aku sadar dan menerima kenyataan tentang adanya ketimpangan nutrisi intelektual dan spiritual dalam diri. 

Cukup berat pada awalnya untuk kembali ke ideologi awal yang sebenarnya aku yakin tidak akan pernah sama. Biar bagaimana pun, aku sudah berubah. Tapi setidaknya ada kesadaran bahwa ada yang hilang dan ingin kukembalikan. Masalahnya, aku bahkan tak tahu lagi apa yang hilang.

Terseok-seok, aku mulai pencarian diri yang hilang itu. Tapi ternyata aku tak lupa kalau aku pernah suka membaca. Jadi, baiklah, mari kita mulai dari membuat target membaca 1 bulan 1 buku. Baca-baca buku apa sajalah yang paling menarik hari. Dari sini, sedikit demi sedikit aku mulai menemukan aku yang dulu. Lucunya adalah, aku baru sadar kalau buku pilihan kita itu, somehow, menunjukkan kondisi kita saat itu. Jadi awal-awal memulai target baca ini, aku banyak memilih buku-buku self-help. Beberapa bulan kemudian aku lebih tertarik dengan buku-buku yang berhubungan dengan private finance karena saat itu aku mulai bokek. Hahaha... Selanjutnya topik bacaannya mulai meluas dan semakin tertarik akan banyak hal. Kalau mau tau beberapa buku yang aku baca, lihat aja di highlight instagramku, @soupbee, (book 2019, book 2020, ....).

Pada akhirnya, insecurity tentang penampilan diri kadang masih ada, tapi fokus hidupku lagi melulu soal yang superficial. Jadi mungkin sekarang aku katakan pada diri sendiri, I am still be superficial, but with brain.    

 

No comments:

Post a Comment