Sunday, November 26, 2017

Setajam lidahmu

But prophet mohamad said صلى الله عليه وسلم: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت. رواه البخاري ومسلم

Pesan balasan itu sampai juga di layar hpku. "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, katakan yang baik atau diam."

You do the first, but sometimes you forget to apply the rest of hadith

Kamu lakukan yang pertama, tapi kadang kamu lupa menerapkan sisa hadits itu. Jleb. Rasanya dia memang benar-benar marah karena mungkin karena menurutnya bercandaku keterlaluan dan setelah make fun of him, aku malah mengingatkan kesalahannya. Akhirnya melayanglah hadith itu.

Beragam jawaban sudah siap kuketik. Pada awalnya berupa pembelaan diri, tapi buru-buru kuhapus lagi. Poinnya bukan itu, Fi. Tegur sang hati pada diri ini. Yang dia katakan benar. Itu yang ingin disampaikannya setiap kali kau berusaha menegur seseorang.  Akhirnya sebaris permintaan maaf lah sebagai balasanku. Setelah itu aku berusaha introspeksi diri dan muncul beberapa pertanyaan untuk diri sendiri.



Sesuci apakah kau sampai bisa-bisanya menegur orang bertubi-tubi?

Sebaik apakah kau sampai bisa-bisanya menghakimi orang tanpa kau latar belakang masalahnya?

Sesempurna apakah kau sampai bisa-bisanya kau anggap fatal kesalahan kecil yang dilakukan orang lain? Apakah kau pikir kau tak melakukan kesalahan lain?

Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sungguh tak enak rasanya. Rasa bersalah ini. Sungguh lidah ini sangat tajam dan mematikan. Bisa jadi aku telah "membunuh" seseorang dengan perkataanku. naudzubillahimindzalik.

Kadang ketika melihat orang lain (terutama orang yang kita sayangi) melakukan kesalahan, ingin rasanya segera menegurnya agar ia kembali ke jalan yang (menurut kita) benar. Lalu dengan tanpa seni dan melihat situasi langsung saja kita menegurnya. Padahal, tanpa mempertimbangkan beberapa faktor, teguran atau masukan atau saran atau apa lah itu namanya takkan pernah masuk bahkan didengarpun tidak. Terutama jika kita perempuan dan yang ingin kita tegur adalah laki-laki. Di beberapa culture hal ini cukup sulit diterima. Bisa, tapi tidak dengan frontal. Bisa juga dengan frontal, tapi tergantung karakter dan personality yang ditegur. Belum lagi faktor mood dan status.

Sungguh memberi teguran tidak bisa serta merta disampaikan. Teorinya sih begitu. Tapi praktiknya sungguh tak mudah. Sering kali kata-kata itu keluar begitu saja. Bahkan kadang teguran itu sudah terbumbui emosi (karena melihat "kesalahan" yang dilakukan orang itu) sehingga teguran itu menjelma menjadi kata-kata pedas yang menyakiti hati. Menusuk. Mematikan.

Pikiran ini sudah seharusnya diasah setajam lidah ini agar bisa memilah kata-kata yang baik. Begitupun sang hati. Sudah seharusnya dilembutkan agar semakin peka, agar setiap pesan yang disampaikan pun sampai ke hati.

Tapi. Dari semua itu ada hal yang paling penting untuk diingat. Kesadaran diri dan kerendahan diri bahwa diri ini pun masih jauh dari sempurna, masih melakukan kesalahan di sana sini yang jauuuh letaknya dari hati hingga hanya orang lain yang melihat. Ya, kesalahan itu memang mungkin terlalu jauh hingga tak terjangkau mata hati (atau sang mata hati sedang tertutup kotoran) sehingga ketika orang lain menegur, yang ada adalah pembelaan diri berlebihan. Dan sangat mungkin, ada hati-hati yang tersakiti dari omongan dan perbuatan kita TANPA PERNAH kita sadari :( .

Namun, jangan juga kesadaran atas ketidaksempurnaan diri melalaikan tugas kita untuk saling mengingatkan sesama. Mudah memang mengucap teori demi teori. Praktiknya, memang tidak selalu berjalan mulus. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menjaga diri terutama lidah kita.



2 comments: