Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan Kenapa Belum Menikah? (Part 1) hampir setahun lalu, di masa galau beratttt, masa-masa bangkit dari keterpurukan (halah lebay). Sungguh, menyakitkan, karena sebenarnya dari lubuk yang terdalam, aku pun menginginkannya sejak lama. Menikah. Semakin hari saking lamanya menunggu (menurutku lama sih), diri ini semakin sensitif dengan kata "menikah". Sehingga pertanyaan-pertanyaan semacam "kapan menikah" dan kawan-kawannya rasanya menjadi seperti bentuk "penghinaan" dan palu godam yang memukul remuk hati ini (lebay meneh...... -_-). Berlebihan? Mungkin. Tapi ya... gimana ya... emang gitu sih rasanya. Intinya, setiap orang ada alasan mereka masing-masing. Jadi mari kita khusnuzhon saja dan tidak banyak bertanya kecuali memang niat ingin membantu. Kalau sekedar kepo, mending di-rem saja dulu lah.
Melanjutkan dari tulisan sebelumnya, aku cuma mau berbagi tentang hasil perenungan panjangku terutama tentang masalah jodoh dan hidup (hmmm topik yang berat). Aku sendiri sudah ingin menikah sejak SMA. Bukan, bukan ingin nikah saat SMA, tapi niatan itu sudah ada sejak SMA sehingga berani pasang target nanti menikah umur 21. Jadilah begitu menginjak umur 21, aku langsung memasukkan curriculum vitae (CV) ke guru ngaji untuk dicarikan jodoh. Namun, percayalah, sejak saat pertama kali memasukkan CV tahun 2011 hingga sudah diupdate berkali-kali tahun demi tahun, dari satu guru ke guru berikutnya, tidak pernah satu pun yang mau "proses". What's wrong with me!!!!! Apa profilku sebegitu jeleknya hingga tak satupun bahkan mau mencoba mengenalku lebih dalam? Ngenes kan?
Namun aku tak sedih. Life must go on no matter what. Hingga pada akhirnya ada kejadian yang menjadi titik balik caraku melihat, berpikir, dan menyikapi hidup. Dari kejadian itu, pertanyaan demi pertanyaan fiosofis kembali memenuhi pikiran. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Berusaha benar-benar jujur dengan diri sendiri. Se-egois dan sebodoh apapun keinginan itu, coba jujur pada diri sendiri.