Monday, September 9, 2019

[Cerita dan Tarian] I - Percakapan Malam Itu

"Kamu tahu kan kalau aku tak akan segan menikahimu, tapi..."

"Ya kamu pun tahu kenapa itu tidak mungkin." Dan kami pun saling mengendikkan bahu. Diam sejenak menata kembali suasana. Tidak se-drama itu juga sebenarnya karena masing-masing tak ada rasa yang terlalu mendalam.

Dia kawanku, tergolong baru. Belum juga satu tahun mengenal. Jujur, awalnya aku risih karena dia sering mengirim joke joke yang aku tak paham dan terlalu banyak bertanya tentang kehidupan pribadiku. Tapi anehnya, aku tanggapi saja saat itu. Eh wajar juga sih, karena jarang-jarang ada orang baru agak awet ngobrol (hitungan bulan) denganku. Lambat laun, kumulai menyadari ternyata banyak kesamaan diantara kita berdua yang sebelumnya aku tak sadar. Sebaliknya, dia sangat tertarik untuk terus mengajakku ngobrol sejak pertemuan pertama. Dia tak menyangka di balik penampilanku, yang hanya nampak wajah dan telapak tangan, ternyata aku bisa diajak bicara.

Dari yang tadinya risih, lama-lama kumulai tertarik dengannya, satu langkah lagi untuk mencapai level 'suka'. Maka, istikharahlah yang menjadi andalan. Namun, semakin banyak istikharah, kumerasa ia semakin jauh. Kemudian ada rasa sedikit drama di diri ini. Hingga akhirnya menjelang malam itu, aku kembali meminta Sang Pemilik Hati menunjukkan jalan dan memohon agar tak ada rasa sakit hati dan drama-drama lagi.

Malam itu, setelah sekian lama tak bersua, akhirnya kita bertemu dan ada kesempatan untuk ngobrol seperti dulu ketika dia masih aktif menghubungiku. Dari percakapan itu akhirnya terbukalah satu per satu fakta yang seolah menjadi jawaban segala keresahan hati. Alhamdulillah wa syukurillah, Allah tunjukkan itu semua sebelum drama menjelma.

"2 hal yang tidak mungkin. Satu, menikah. Kedua, punya anak," katanya santai. Errr aku sempat berpikir, bukannya menikah dan anak akan jadi sepaket ya? Tapi ah sudah lah, terserah dia yang ngomong. Alih-alih memprotes kalimatnya, aku berusaha 'menyemangati'.

"Hey man, jangan pesimis gitu sih. Lihat nih posisiku lebih kasihan darimu. Umurku sudah berapa coba. Perempuan lagi. Lagian, aku penasaran, kok bisa sih orang macam kamu yang punya banyak teman dan aktivitas, ga ada satu pun yang tertarik?" tanyaku kepo.

"Well, hanya sedikit sekali orang yang bisa memahami jalan pikirku. Dan kupikir kamu diantara yang sedikit itu...."

"Ah kupikir karena cara berpikir kita aja yang emang sama," potongku.

"Justru itu yang aku cari. Beneran jarang lho yang benar-benar bisa paham maksudku. Sayangnya kamu cari yang muslim sedangkan aku tak mungkin.....,"

"Tenang man, kamu akan menemukan takdirmu sendiri, begitu pun aku, aku akan menemukan takdirku sendiri," potongku buru-buru. Aku belum sanggup mendengar ataupun mendebat apapun alasan dia belum bisa menerima Islam. Islam, yang menjadi hidupku. Aku belum siap lagi mendengar mereka, orang-orang yang tak percaya Allah, berkata hal-hal yang buruk tentangNya meskipun aku tahu mereka mengatakannya karena ketidaktahuan dan berusaha mengungkapkannya sehalus mungkin. Tapi tetap saja aku masih trauma ketika berdiskusi mengenai topik ini karena akhirnya aku sadar ilmuku belum sampai. Ada banyak hal di kepala yang ingin kusampaikan, apa daya kurangnya ilmu dan emosi yang belum terkontrol baik tak bisa membuat mulut ini mendakwahkan deen ini dengan kata-kata bijak yang mudah dipahami. Sedih, tak rela, kasihan, merasa bersalah, dll pokoknya campur aduk lah rasa di dalam diri.

"Ya," katanya sambil tersenyum. "Intinya sama lah denganmu, pilihan kita memang sulit dan mungkin tidak ada di dunia ini. Hahahaha...." Aku pun ikut tertawa miris. Selama ini aku tak pernah benar-benar paham lelaki macam apa yang aku inginkan hingga ketika beberapa waktu menjadi temannya, dia dengan cerdasnya menyimpulkan dan menyederhanakan kata-kataku. Itu lah awal mula aku mulai tertarik dengannya (tertarik ya, belum suka), ketika kusadar dia bisa memahami kalimat-kalimatku yang absurd dan menerangkan kembali yang aku katakan dengan kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Maka, berawal dari analisa dia tentang 'lelaki yang kucari', aku pun mulai lebih mengenal diri sendiri.

Dan ya, miris sih, ternyata yang aku cari memang agak sulit dinalar dan memang belum pernah kutemui orang yang persis seperti 'standar' itu. Untuk beberapa waktu kemudian kita saling diam. Nampaknya mendadak ada banyak hal yang perlu dicerna otak kita masing-masing.

Tentu aku tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu. Namun, meskipun tak kuungkapkan, aku tahu persis aku tidak 100% sepakat dengan kalimat terakhir dia, "that kind of person doesn't exist in this world". Karena aku yakin Allah telah menyiapkan skenario terbaik. Tugas kita hanya bekerja dan terus memperbaiki diri bukan? Mungkin aku sendiri yang belum memenuhi 'standar' itu sehingga belum pernah kubertemu dengan pria dengan standar itu. Juga tiada bosan memohon kepada Yang Maha Membolak-balikkan hati untuk selalu mengarahkan diri dan hati ini kepada takdir baikNya.

"Nampaknya kita harus pergi sekarang, karena kita cuma punya 10 menit lagi sekarang," katanya.

"Yeah, let's go."  



(bersambung ke [Cerita dan Tarian] II )

Friday, September 6, 2019

Bertahan

"Wis ngerti dee ra seneng kowe. Kenapa masih bertahan?"

Ya, aku juga sebenarnya heran dengan diriku sendiri. Kenapa juga aku masih bertahan? Entahlah. Bahkan susah kumelihat yang lain. Harus kuperbanyak istigfar. Tapi jangan salah. Aku pun sudah sekuat tenaga untuk berpindah, melepaskan, dan melupakan. Tapi selalu saja kumerasa gagal move on. Bahkan tak sehari pun tanpa memikirkannya. Tanpa sehari pun ia luput dalam doa-doaku. Tanpa sehari pun aku tak berharap yang terbaik untuknya.

Entahlah, apapun yang dia lakukan, aku masih saja selalu berpikir kebaikannya. Sesadar apapun aku melihat betapa dia sekuat tenaga menghindar dariku, tetap saja aku tak kuasa menahan diri dari harap. Kadang ku marah dengan diri sendiri kalau ku sadar telah merendahkan diri. Ah, tapi aku bahkan tak tahu apakah yang aku lakukan ini adalah bentuk merendahkan diri.

Yaa Rahiim... Yaa Rahiim....
Engkau lah Sang Pemilik hati
Engkau ada di antara diriku dan hatiku
Engkau ada di antara ia dan hatinya
Engkau lah yang kuasa membolak balikkan hati
Engkau yang kuasa menumbuhkan rasa ini
dan Engkau pula lah yang kuasa menghapusnya

Duhai Rabbi... Yaa Rahiim....
Ku hanya mohon yang terbaik dari Mu
Ku hanya mohon jagalah diri ini dan dirinya dari hal-hal yang Engkau murkai
Jagalah diri ini dan dirinya dari hal-hal yang tak Kau sukai

Ya Rabb.... Ya Rabb....

Entah sampai kapan Engkau biarkan aku bertahan dengan rasa ini.
Aku hanya tahu, Engkau selalu bersamaku, Ya Rabb...
Aku hanya tahu, Engkau selalu memberiku yang terbaik, Ya Rabb...
Kasihilah orang-orang yang hamba sayangi
Berilah kami hidayahMu
Bimbinglah kami ke syurgaMu
karena sungguh tak 'kan sanggup kami mencicipi siksa kubur dan nerakaMu

Rasanya, ada yang harus kujaga
Kupikir kau pun tahu

Wednesday, September 4, 2019

Request for Japan Post Pick Up Delivery [A dumb tutorial if you don't know Japanese well]

You have a huuuge parcel to be delivered but you can't lift it by yourself to post office?
Easy, ask them to pick it up from your house.
If you can speak a little Japanese, call this number 
0800-0800-1111
Well, I never called them. I know my Japanese level. OK. So, if you have the same problem with me, so follow these step:

2. Then, click this link 今すぐ集荷依頼をする

3. Fill the form

OK. I am lazy now. If you are smart enough, you can fill it by yourself. Open that link from google Chrome and let them automatically translate for you. Please note that you need to fill the form in Japanese as well.

Later I will write more for the example, but, to be continued.








My iPhone Keeps Switching On/Off Charging on Mac

Solution:

Run this in terminal
sudo killall -STOP -c usbd
.
.
.
.
.
that's all about this post. hahaha