"Kamu tahu kan kalau aku tak akan segan menikahimu, tapi..."
"Ya kamu pun tahu kenapa itu tidak mungkin." Dan kami pun saling mengendikkan bahu. Diam sejenak menata kembali suasana. Tidak se-drama itu juga sebenarnya karena masing-masing tak ada rasa yang terlalu mendalam.
Dia kawanku, tergolong baru. Belum juga satu tahun mengenal. Jujur, awalnya aku risih karena dia sering mengirim joke joke yang aku tak paham dan terlalu banyak bertanya tentang kehidupan pribadiku. Tapi anehnya, aku tanggapi saja saat itu. Eh wajar juga sih, karena jarang-jarang ada orang baru agak awet ngobrol (hitungan bulan) denganku. Lambat laun, kumulai menyadari ternyata banyak kesamaan diantara kita berdua yang sebelumnya aku tak sadar. Sebaliknya, dia sangat tertarik untuk terus mengajakku ngobrol sejak pertemuan pertama. Dia tak menyangka di balik penampilanku, yang hanya nampak wajah dan telapak tangan, ternyata aku bisa diajak bicara.
Dari yang tadinya risih, lama-lama kumulai tertarik dengannya, satu langkah lagi untuk mencapai level 'suka'. Maka, istikharahlah yang menjadi andalan. Namun, semakin banyak istikharah, kumerasa ia semakin jauh. Kemudian ada rasa sedikit drama di diri ini. Hingga akhirnya menjelang malam itu, aku kembali meminta Sang Pemilik Hati menunjukkan jalan dan memohon agar tak ada rasa sakit hati dan drama-drama lagi.
Malam itu, setelah sekian lama tak bersua, akhirnya kita bertemu dan ada kesempatan untuk ngobrol seperti dulu ketika dia masih aktif menghubungiku. Dari percakapan itu akhirnya terbukalah satu per satu fakta yang seolah menjadi jawaban segala keresahan hati. Alhamdulillah wa syukurillah, Allah tunjukkan itu semua sebelum drama menjelma.
"2 hal yang tidak mungkin. Satu, menikah. Kedua, punya anak," katanya santai. Errr aku sempat berpikir, bukannya menikah dan anak akan jadi sepaket ya? Tapi ah sudah lah, terserah dia yang ngomong. Alih-alih memprotes kalimatnya, aku berusaha 'menyemangati'.
"Hey man, jangan pesimis gitu sih. Lihat nih posisiku lebih kasihan darimu. Umurku sudah berapa coba. Perempuan lagi. Lagian, aku penasaran, kok bisa sih orang macam kamu yang punya banyak teman dan aktivitas, ga ada satu pun yang tertarik?" tanyaku kepo.
"Well, hanya sedikit sekali orang yang bisa memahami jalan pikirku. Dan kupikir kamu diantara yang sedikit itu...."
"Ah kupikir karena cara berpikir kita aja yang emang sama," potongku.
"Justru itu yang aku cari. Beneran jarang lho yang benar-benar bisa paham maksudku. Sayangnya kamu cari yang muslim sedangkan aku tak mungkin.....,"
"Tenang man, kamu akan menemukan takdirmu sendiri, begitu pun aku, aku akan menemukan takdirku sendiri," potongku buru-buru. Aku belum sanggup mendengar ataupun mendebat apapun alasan dia belum bisa menerima Islam. Islam, yang menjadi hidupku. Aku belum siap lagi mendengar mereka, orang-orang yang tak percaya Allah, berkata hal-hal yang buruk tentangNya meskipun aku tahu mereka mengatakannya karena ketidaktahuan dan berusaha mengungkapkannya sehalus mungkin. Tapi tetap saja aku masih trauma ketika berdiskusi mengenai topik ini karena akhirnya aku sadar ilmuku belum sampai. Ada banyak hal di kepala yang ingin kusampaikan, apa daya kurangnya ilmu dan emosi yang belum terkontrol baik tak bisa membuat mulut ini mendakwahkan deen ini dengan kata-kata bijak yang mudah dipahami. Sedih, tak rela, kasihan, merasa bersalah, dll pokoknya campur aduk lah rasa di dalam diri.
"Ya," katanya sambil tersenyum. "Intinya sama lah denganmu, pilihan kita memang sulit dan mungkin tidak ada di dunia ini. Hahahaha...." Aku pun ikut tertawa miris. Selama ini aku tak pernah benar-benar paham lelaki macam apa yang aku inginkan hingga ketika beberapa waktu menjadi temannya, dia dengan cerdasnya menyimpulkan dan menyederhanakan kata-kataku. Itu lah awal mula aku mulai tertarik dengannya (tertarik ya, belum suka), ketika kusadar dia bisa memahami kalimat-kalimatku yang absurd dan menerangkan kembali yang aku katakan dengan kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Maka, berawal dari analisa dia tentang 'lelaki yang kucari', aku pun mulai lebih mengenal diri sendiri.
Dan ya, miris sih, ternyata yang aku cari memang agak sulit dinalar dan memang belum pernah kutemui orang yang persis seperti 'standar' itu. Untuk beberapa waktu kemudian kita saling diam. Nampaknya mendadak ada banyak hal yang perlu dicerna otak kita masing-masing.
Tentu aku tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu. Namun, meskipun tak kuungkapkan, aku tahu persis aku tidak 100% sepakat dengan kalimat terakhir dia, "that kind of person doesn't exist in this world". Karena aku yakin Allah telah menyiapkan skenario terbaik. Tugas kita hanya bekerja dan terus memperbaiki diri bukan? Mungkin aku sendiri yang belum memenuhi 'standar' itu sehingga belum pernah kubertemu dengan pria dengan standar itu. Juga tiada bosan memohon kepada Yang Maha Membolak-balikkan hati untuk selalu mengarahkan diri dan hati ini kepada takdir baikNya.
"Nampaknya kita harus pergi sekarang, karena kita cuma punya 10 menit lagi sekarang," katanya.
"Yeah, let's go."
(bersambung ke [Cerita dan Tarian] II )
"Ya kamu pun tahu kenapa itu tidak mungkin." Dan kami pun saling mengendikkan bahu. Diam sejenak menata kembali suasana. Tidak se-drama itu juga sebenarnya karena masing-masing tak ada rasa yang terlalu mendalam.
Dia kawanku, tergolong baru. Belum juga satu tahun mengenal. Jujur, awalnya aku risih karena dia sering mengirim joke joke yang aku tak paham dan terlalu banyak bertanya tentang kehidupan pribadiku. Tapi anehnya, aku tanggapi saja saat itu. Eh wajar juga sih, karena jarang-jarang ada orang baru agak awet ngobrol (hitungan bulan) denganku. Lambat laun, kumulai menyadari ternyata banyak kesamaan diantara kita berdua yang sebelumnya aku tak sadar. Sebaliknya, dia sangat tertarik untuk terus mengajakku ngobrol sejak pertemuan pertama. Dia tak menyangka di balik penampilanku, yang hanya nampak wajah dan telapak tangan, ternyata aku bisa diajak bicara.
Dari yang tadinya risih, lama-lama kumulai tertarik dengannya, satu langkah lagi untuk mencapai level 'suka'. Maka, istikharahlah yang menjadi andalan. Namun, semakin banyak istikharah, kumerasa ia semakin jauh. Kemudian ada rasa sedikit drama di diri ini. Hingga akhirnya menjelang malam itu, aku kembali meminta Sang Pemilik Hati menunjukkan jalan dan memohon agar tak ada rasa sakit hati dan drama-drama lagi.
Malam itu, setelah sekian lama tak bersua, akhirnya kita bertemu dan ada kesempatan untuk ngobrol seperti dulu ketika dia masih aktif menghubungiku. Dari percakapan itu akhirnya terbukalah satu per satu fakta yang seolah menjadi jawaban segala keresahan hati. Alhamdulillah wa syukurillah, Allah tunjukkan itu semua sebelum drama menjelma.
"2 hal yang tidak mungkin. Satu, menikah. Kedua, punya anak," katanya santai. Errr aku sempat berpikir, bukannya menikah dan anak akan jadi sepaket ya? Tapi ah sudah lah, terserah dia yang ngomong. Alih-alih memprotes kalimatnya, aku berusaha 'menyemangati'.
"Hey man, jangan pesimis gitu sih. Lihat nih posisiku lebih kasihan darimu. Umurku sudah berapa coba. Perempuan lagi. Lagian, aku penasaran, kok bisa sih orang macam kamu yang punya banyak teman dan aktivitas, ga ada satu pun yang tertarik?" tanyaku kepo.
"Well, hanya sedikit sekali orang yang bisa memahami jalan pikirku. Dan kupikir kamu diantara yang sedikit itu...."
"Ah kupikir karena cara berpikir kita aja yang emang sama," potongku.
"Justru itu yang aku cari. Beneran jarang lho yang benar-benar bisa paham maksudku. Sayangnya kamu cari yang muslim sedangkan aku tak mungkin.....,"
"Tenang man, kamu akan menemukan takdirmu sendiri, begitu pun aku, aku akan menemukan takdirku sendiri," potongku buru-buru. Aku belum sanggup mendengar ataupun mendebat apapun alasan dia belum bisa menerima Islam. Islam, yang menjadi hidupku. Aku belum siap lagi mendengar mereka, orang-orang yang tak percaya Allah, berkata hal-hal yang buruk tentangNya meskipun aku tahu mereka mengatakannya karena ketidaktahuan dan berusaha mengungkapkannya sehalus mungkin. Tapi tetap saja aku masih trauma ketika berdiskusi mengenai topik ini karena akhirnya aku sadar ilmuku belum sampai. Ada banyak hal di kepala yang ingin kusampaikan, apa daya kurangnya ilmu dan emosi yang belum terkontrol baik tak bisa membuat mulut ini mendakwahkan deen ini dengan kata-kata bijak yang mudah dipahami. Sedih, tak rela, kasihan, merasa bersalah, dll pokoknya campur aduk lah rasa di dalam diri.
"Ya," katanya sambil tersenyum. "Intinya sama lah denganmu, pilihan kita memang sulit dan mungkin tidak ada di dunia ini. Hahahaha...." Aku pun ikut tertawa miris. Selama ini aku tak pernah benar-benar paham lelaki macam apa yang aku inginkan hingga ketika beberapa waktu menjadi temannya, dia dengan cerdasnya menyimpulkan dan menyederhanakan kata-kataku. Itu lah awal mula aku mulai tertarik dengannya (tertarik ya, belum suka), ketika kusadar dia bisa memahami kalimat-kalimatku yang absurd dan menerangkan kembali yang aku katakan dengan kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Maka, berawal dari analisa dia tentang 'lelaki yang kucari', aku pun mulai lebih mengenal diri sendiri.
Dan ya, miris sih, ternyata yang aku cari memang agak sulit dinalar dan memang belum pernah kutemui orang yang persis seperti 'standar' itu. Untuk beberapa waktu kemudian kita saling diam. Nampaknya mendadak ada banyak hal yang perlu dicerna otak kita masing-masing.
Tentu aku tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu. Namun, meskipun tak kuungkapkan, aku tahu persis aku tidak 100% sepakat dengan kalimat terakhir dia, "that kind of person doesn't exist in this world". Karena aku yakin Allah telah menyiapkan skenario terbaik. Tugas kita hanya bekerja dan terus memperbaiki diri bukan? Mungkin aku sendiri yang belum memenuhi 'standar' itu sehingga belum pernah kubertemu dengan pria dengan standar itu. Juga tiada bosan memohon kepada Yang Maha Membolak-balikkan hati untuk selalu mengarahkan diri dan hati ini kepada takdir baikNya.
"Nampaknya kita harus pergi sekarang, karena kita cuma punya 10 menit lagi sekarang," katanya.
"Yeah, let's go."
(bersambung ke [Cerita dan Tarian] II )